Menuju SeAbad Pramoedya Ananta Toer, Ini 7 Fakta tentangnya

Siapa sih Pramoedya Ananta Toer dan begitu digilai karena karya-karya sastra yang ditulisnya? Berikut 7 fakta tentang Pramoedya Ananta Toer, seperti dirangkum redaksi detikpop:
1. Masa Kecil
Pada 9 Februari 1925, Pramoedya Ananta Toer lahir. Terlahir sebagai putra sulung keluarga guru nasionalis di Blora, ia mengenyam pendidikan dasar di Instituut Boedi Oetomo Blora yang dipimpin ayahnya, Mastoer Imam Badjoeri.
Ia sempat melanjutkan pendidikan di Radio Vakschool Surabaya, namun nggak sempat menerima ijazah kelulusan menyusul runtuhnya kekuasaan Hindia Belanda dan masuknya pasukan Pendudukan Jepang. Pada Juni 1942, Pramoedya merantau ke Jakarta dan bekerja sebagai juru ketik Kantor Berita DOMEI, sambil meneruskan pendidikan menengahnya di Taman Madya.
2. Bergabung di Divisi Siliwangi
Sesudah Proklamasi Kemerdekaan pada 1945, Pramoedya bergabung dalam Resimen VI Divisi Siliwangi yang bertugas di wilayah Bekasi, Jawa Barat. Putri Pram, Astuti Ananta Toer cerita kalau ayahnya memiliki fisik yang lemah dan secara emosi sampai sempat tiga kali nggak naik kelas.
Pram pun ikut tentara agar menguatkan fisiknya. "Tapi Pram ternyata juga nggak kuat pas disuruh bunuh orang. Dia berani mengangkat senapan, tapi nggak berani buat membunuh. Sebegitu lemah hatinya kepada orang lain," kata Astuti Ananta Toer kepada redaksi detikpop di TIM, belum lama ini.
3. Dipenjara Tanpa Diadili
Pilihan Pramoedya mendukung kemerdekaan Indonesia ditebusnya dengan hukuman penjara di Bukit Duri, mulai 23 Juli 1947 hingga 18 Desember 1949. Di balik jeruji besi inilah, dua roman pertamanya, Perburuan dan Keluarga Gerilya, ditulis.
Pada Agustus 1960, Pramoedya ditangkap dan dipenjara selama satu tahun tanpa peradilan karena menerbitkan buku Hoakiau di Indonesia. Buku ini dianggap subversif oleh penguasa saat itu karena menunjukkan pembelaan terhadap kedudukan warga negara Indonesia keturunan Tionghoa yang disudutkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 10/1959 yang rasialistis.
Penangkapan berikutnya terjadi sesudah Gerakan 30 September 1965 digagalkan, Pramoedya ditangkap dalam penyerbuan massa ke kediamannya pada 13 Oktober 1965. Delapan manuskrip yang belum selesai turut dihancurkan dan dibakar bersama-sama koleksi lima ribu buku di perpustakaan pribadinya.
Selama empat tahun berikutnya, Pramoedya beberapa kali mengalami pemindahan lokasi penahanan (Penjara Salemba, Tangerang, dan Nusa Kambangan) sebelum diberangkatkan bersama 800 orang tahanan politik ke Pulau Buru pada 16 Agustus 1969 dengan kapal ADRI XV.
4. Karya Sastra di Pulau Buru
Saat dipenjara di Pulau Buru, Pram diperbolehkan buat menulis. Dalam keterbatasan alat tulis dan pasokan kertas, Pramoedya menuliskan ulang cerita-cerita lisan yang dia tuturkan sebelum tidur kepada teman-teman sesama tahanan. Tidak kurang dari delapan naskah dia lahirkan dalam keterbatasan tersebut, antara lain Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Arok Dedes, Mata Pusaran, Arus Balik, Mangir, Di Atas Lumpur, dan dokumentasi Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer.
5. 14 Tahun Berpisah dengan Keluarga
Pramoedya menerima surat pernyataan tidak terlibat G30S pada 12 November 1979, dan kembali ke pelukan keluarganya pada 21 Desember 1979 sesudah dipisahkan selama 14 tahun.
Dia merintis kembali kepengarangannya yang vakum dengan mendirikan penerbit Hasta Mitra bersama Hasjim Rachman dan Joesoef Isak, dan menerbitkan Bumi Manusia untuk pertama kali pada bulan Agustus 1980.
6. Animo pada Bumi Manusia
Sambutan meriah terhadap penerbitan buku ini ditandai dengan animo pembaca yang sangat tinggi dan cetak ulang lima kali dalam waktu kurang dari satu tahun. Tapi pada 29 April 1981, Kejaksaan Agung Republik Indonesia mengeluarkan larangan terhadap Bumi Manusia dan sekuel Anak Semua Bangsa karena dianggap "menyebarluaskan marxisme-leninisme."
Sebagian eksemplar kedua buku tersebut ditarik dari peredaran dan dihancurkan, sementara sebagian lain digandakan dan dijual secara sembunyi-sembunyi. Beruntungnya, Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa sempat diterjemahkan ke bahasa Inggris, dan membawa nama Pramoedya ke panggung kesusastraan dunia.
7. Jelang Akhir Hayat
Pramoedya menerima kembali hak-hak sipilnya sebagai warga negara Indonesia pada 1999, sesudah melewati sekurang-kurangnya 34 tahun penahanan, perampasan kebebasan, dan pemberangusan atas karya-karyanya.
Berbagai penghargaan dari dalam maupun luar negeri yang kemudian diterima Pramoedya secara bergantian menjadi pengakuan dan penghormatan atas sumbangsihnya terhadap kesusastraan Indonesia modern. Dia tutup usia pada 30 April 2006 akibat sakit komplikasi yang diidapnya.
(tia/wes)