Film 'The Lost Forest' Karya Sineas Kaltara Menang Sayembara Maxstream

Film 'The Lost Forest' Karya Sineas Kaltara Menang Sayembara Maxstream

Oktavian Balang - detikKalimantan
Jumat, 21 Nov 2025 08:59 WIB
Film The Lost Forest (2025).
Film The Lost Forest (2025). Foto: Istimewa
Tarakan -

Sineas muda asal Tarakan, Kalimantan Utara (Kaltara), Rohil Fidiawan, kembali menorehkan prestasi membanggakan. Film pendek terbarunya berjudul The Lost Forest berhasil memenangkan sayembara ide cerita tingkat nasional dan siap tayang perdana di ajang bergengsi Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) 2025.

Film yang diproduseri Rohil ini terpilih dalam program "Secinta Itu Sama Indonesia" dari Maxstream Studios. Program ini merupakan ajang dukungan produksi bagi pembuat film berbakat di seluruh Indonesia.

"Film The Lost Forest terpilih dari ratusan bahkan ribuan pengirim. Dipilih 3 ide cerita terbaik untuk difasilitasi dan diwujudkan menjadi film pendek. Alhamdulillah 30 November nanti rilis di JAFF," ujar Produser The Lost Forest, Rohil Fidiawan kepada detikKalimantan, Kamis (20/11/2025).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Proses produksi film ini dilakukan di Wisata Batu Tumpuk, Desa Panca Agung, Kabupaten Bulungan. Lokasi ini dipilih karena memiliki karakteristik visual yang kuat, menggali ingatan Rohil saat membuat dokumenter di Gunung Batu Benau.

"Rasanya pengalaman kali ini sedikit berbeda. Kita memproduksi film fiksi yang kuat akan sarat artistik, ketepatan waktu, dan kondusifitas. Tantangan visibilitas medan juga lumayan sulit," jelasnya.

Proses pengerjaannya pun terbilang kilat. Mulai dari open submit, pra-produksi, hingga final delivery, tim produksi hanya memakan waktu sekitar dua bulan.

"Ini jadi ajang kolaborasi kami untuk bersenang-senang dalam proses berkarya," tambah Rohil yang mengembangkan cerita ini bersama Mizam Fadilah Ananda dan Wisnu Dwi Prasetyo.

Produser lainnya, Wisnu Dwi Prasetyo, menjelaskan bahwa The Lost Forest terinspirasi dari realitas deforestasi dan dampaknya bagi generasi muda di komunitas pedalaman.

"Kami berharap film ini tidak hanya menghibur, tetapi juga menggerakkan empati dan percakapan tentang perlindungan hutan dan masa depan anak-anak yang tinggal di sekitarnya," kata Wisnu.

Senada dengan itu, Sutradara Mizam Fadilah Ananda menyebut film ini adalah rekonstruksi peristiwa di dalam hutan ke dalam bentuk fiksi. Film ini menjadi pernyataan atas jarak peradaban antara masyarakat modern dan mereka yang masih memegang teguh kehidupan leluhur.

"Film ini bukan hanya untuk satu suku saja, tapi seluruh masyarakat adat di belahan dunia manapun. Mengajarkan kita bersyukur dan berempati terhadap sesama makhluk hidup," tutur Mizam.




(bai/bai)
Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads