Pegunungan Meratus merupakan bentang alam yang membelah Provinsi Kalimantan Selatan. Pegunungan ini menyimpan berbagai keindahan dan keunikan, baik dari alamnya maupun keanekaragaman hayatinya.
Selain itu, keberadaan Pegunungan Meratus juga lekat dengan kehidupan masyarakat lokal, terutama suku Dayak Meratus. Simak artikel ini untuk mengetahui lebih dalam mengenai Pegunungan Meratus.
Kondisi Geografis
Dikutip dari Portal Informasi Indonesia, Pegunungan Meratus membentang dari barat daya ke timur laut sepanjang sekitar 600 km dan membelah Kalimantan Selatan. Pegunungan ini melewati 13 kabupaten di Kalsel.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Titik tertinggi Pegunungan Meratus berada di ketinggian 1.901 mdpl, yakni di Gunung Halau-Halau. Ini menjadikannya puncak tertinggi kedua di Pulau Kalimantan.
Di pegunungan ini, terdapat berbagai objek wisata alam ternama, antara lain Air Terjun Bajuan, Air Terjun Barajang, Air Terjun Belawaian, Air Terjun Hanai, Air Terjun Haratai, hingga Air Terjun Manding Tangkaramin. Kemudian mata air panas Batu Bini, Hantakan, dan Taruhi. Ada juga Goa Air Kukup, Goa Baramban, Goa Batu Hapu, dan Goa Berangin.
Jejak Geologi Purba
Berdasarkan laman Meratus Geopark, pegunungan ini tersusun dari kelompok batuan ofiolit tertua di Indonesia, antara lain batuan ultramafik, malihan, melange, dan terobosan yang berasal dari era Yura hingga Kapur Awal, sekitar 150-200 juta tahun lalu.
Proses pembentukannya melibatkan benturan mikrokontinen Paternoster dengan Sundaland, menghasilkan struktur tektonik kompleks dan suture mesotethys yang unik.
Geosite seperti Matang Keladan dan Gunung Belanda memperlihatkan singkapan batuan malihan seperti sekis dan gneiss, sementara Air Terjun Kilat Api dan Belawaian menyingkap batuan vulkanik dan plutonik seperti diorit dan granit porfiri.
Selain itu, Tambang Intan Cempaka menunjukkan keterkaitan antara pembentukan Pegunungan Meratus dan endapan intan primer yang masih ditambang secara tradisional.
Keanekaragaman Flora-Fauna
Pegunungan Meratus adalah rumah bagi berbagai flora dan fauna. Beberapa di antaranya merupakan endemik Kalimantan.
Dirangkum dari situs Forest Watch Indonesia (FWI) dan Portal Informasi Indonesia, hutan pegunungan ini kaya akan flora seperti meranti, agathis, kanari, nyatoh, medang, dan durian. Ada juga dua anggrek langka, yaitu anggrek tebu (Grammatophyllum speciosum) dan anggrek sendok (Spathoglottis urea).
Sementara faunanya ada bekantan, burung enggang, beruang madu, dan owa hidup berdampingan dengan spesies endemik lain, seperti sikatan kadayang (Cyornis kadayangensis) dan kacamata meratus (Zosterops meratusensis).
Meratus bagi Adat Dayak Meratus
Bagi masyarakat Dayak Meratus, hutan bukan sekadar ruang hidup, melainkan bagian dari sistem spiritual dan sosial. Komunitas Balai Kiyu membagi wilayah adat seluas 7.632 hektare menjadi zona larangan, zona adat, zona keramat, dan zona produksi seperti ladang dan kebun karet.
Sistem kepemilikan tanah pun diatur melalui kesepakatan adat tanpa dokumen tertulis, dan pemanfaatan lahan dilakukan dengan prinsip keberlanjutan, kebersamaan, dan kepatuhan pada hukum adat.
Praktik perladangan berpindah (gilir balik) dan ritual aruh (sembilan tahapan upacara) dari membuka ladang hingga panen, menjadi wujud nyata hubungan harmonis antara manusia dan alam.
Pro-Kontra Taman Nasional Meratus
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan mengusulkan status Pegunungan Meratus diubah dari hutan lindung menjadi Taman Nasional. UNESCO juga mengakui Meratus sebagai Geopark Global.
Namun hal ini menemui pro dan kontra dari masyarakat lokal. Di satu sisi, pemerintah dan akademisi menilai langkah ini sebagai strategi pelestarian keanekaragaman hayati dan pengelolaan lingkungan berkelanjutan. Namun masyarakat adat Dayak Meratus dan Dayak Pitap khawatir akan dampak terhadap ruang hidup dan budaya mereka.
Dari situs WALHI, Aliansi Meratus (gabungan komunitas adat, aktivis lingkungan, dan akademisi lokal) menolak usulan ini. Mereka menilai penetapan taman nasional menjadi kedok perampasan wilayah adat, mengabaikan sistem pengelolaan hutan berbasis kearifan lokal yang telah terbukti menjaga kelestarian Meratus selama ratusan tahun.
FWI juga menyoroti pendekatan konservasi yang sentralistik bisa menciptakan konflik tenurial, penggusuran, dan pemiskinan. Mereka mendorong model perlindungan berbasis partisipasi seperti Hutan Adat dan Wilayah Kelola Rakyat, yang lebih menghargai pengetahuan lokal dan hak konstitusional komunitas.
Baca juga: 5 Gunung yang Dikenal Angker di Kalimantan |
Demikian tadi informasi mengenai Pegunungan Meratus di Kalimantan Selatan yang bukan sekadar lanskap geologi, tetapi juga ruang yang menyatukan ilmu pengetahuan, budaya, dan spiritualitas.
(bai/sun)