Perdagangan ilegal beras, gula, dan barang subsidi lainnya dari Malaysia masih saja terjadi di wilayah perbatasan Kalimantan Utara (Kaltara), khususnya Tarakan. Hal ini disinyalir karena sulitnya penerapan Perjanjian Sosial Ekonomi Malaysia-Indonesia (Sosek-Malindo) dan Border Trade Agreement (BTA).
Perjanjian Sosek-Malindo dan BTA yang seharusnya mengatur aktivitas lintas batas, ternyata masih sulit diterapkan akibat lemahnya pengawasan, minimnya pelaporan, dan penyalahgunaan aturan belanja pribadi.
Pengawas Perdagangan Ahli Muda Disperindagkop Kaltara, Septi Yustina Marthin, menjelaskan bahwa Sosek-Malindo dalam perjanjian kerja sama BTA mengizinkan warga perbatasan, seperti di Sebatik, berbelanja kebutuhan pribadi di Malaysia dengan batas nilai 600 Ringgit Malaysia (sekitar Rp2.303.559).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Itu untuk kebutuhan pribadi, bukan untuk diperdagangkan. Hanya berlaku untuk penduduk domisili perbatasan, bukan Tarakan," tegas Septi saat dihubungi detikKalimantan, Jumat (13/6/2025).
Namun, aturan ini sering disalahgunakan. Barang subsidi Malaysia, seperti beras dan gula, masuk dalam jumlah besar dan dijual di Tarakan.
"Penertibannya sulit karena butuh kerja sama lintas pihak," ujar Septi.
Merugikan Indonesia-Malaysia
Sosek-Malindo mencakup kerja sama sosial-budaya, ekonomi, perdagangan, dan keamanan. Pengawasan dan pelaporan tahunan oleh komite perdagangan perbatasan diatur dalam Pasal 7.
Perjanjian ini sudah ada sejak 1985 dengan tujuan untuk menyejahterakan masyarakat perbatasan. Pada 2023, BTA diperbarui oleh Menteri Perdagangan Indonesia Zulkifli Hasan dan Menteri Investasi, Perdagangan, dan Industri Malaysia Tengku Zafrul Aziz di Kuala Lumpur.
Perdagangan ilegal yang masih terjadi ini merugikan kedua belah pihak. Produk Indonesia menjadi tidak laku, sementara barang subsidi Malaysia menjadi tidak tepat sasaran.
"Pengawasan efektif butuh kerja sama Indonesia dan Malaysia. Barang subsidi yang keluar juga merugikan Malaysia," ungkap Septi.
Penertiban perdagangan ilegal, seperti di Pasar Batu, membutuhkan kepala daerah dan kerja sama lintas instansi, termasuk Disperindagkop, BPOM, Pol PP, dan aparat hukum.
"Kalau sendiri-sendiri, tidak akan bisa. Harus terpadu," tegas Septi.
Disinggung dugaan keterlibatan oknum, baik dari Indonesia maupun Malaysia, yang mempermudah keluar-masuknya barang ilegal.
"Kalau pengawasan di Malaysia ketat, barang subsidi tidak mungkin keluar berton-ton," ujarnya.
Namun, ia enggan berkomentar soal dugaan keterlibatan pejabat lokal karena kurangnya informasi detail.
(bai/bai)