Belajar Pantun Banjar, Sastra Tradisional tentang Alam hingga Falsafah Banjar

Belajar Pantun Banjar, Sastra Tradisional tentang Alam hingga Falsafah Banjar

Nadhifa Aurellia Wirawan - detikKalimantan
Minggu, 05 Okt 2025 20:00 WIB
Wisata Kampung Banjar Sungai Jirah, Banjarmasin.
Banjar. Foto: dok Jadesta Kemenpar
Banjarmasin -

Pantun Banjar merupakan salah satu bentuk sastra tradisional yang tetap hidup dan berkembang hingga kini. Sastra ini lahir dari tradisi bertutur. Masyarakat dulu gemar bersyair dan berbalas pantun pada berbagai kesempatan, dari acara pernikahan, upacara adat, hingga kegiatan di ladang dan sungai.

Di masa ketika tulisan belum menjadi kebiasaan, pantun menjadi media utama untuk menyampaikan pesan, nasihat, bahkan perasaan cinta. Bukan hanya jadi sarana hiburan, pantun Banjar juga menjadi sarana pendidikan moral dan cerminan cara berpikir masyarakat Banjar yang religius dan dekat dengan alam.

Bait-baitnya sederhana tetapi penuh makna, dan dekat dengan kehidupan sehari-hari. Setiap unsur alam yang disebut dalam pantun memiliki nilai filosofis tersendiri yang menggambarkan betapa manusia Banjar hidup berdampingan dengan lingkungan dan menjadikannya sumber pelajaran hidup.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam karya ilmiah Rustam Effendi (2019) berjudul "Melihat Alam dan Falsafah Banjar Melalui Pantun Tradisional Banjar", disebutkan bahwa pantun Banjar menjadi satu-satunya genre sastra tradisional yang masih bertahan di tengah perubahan zaman. Sementara bentuk lain seperti peribahasa, syair, mantra, dan gurindam mulai menghilang karena pergantian generasi, pantun tetap eksis sebagai media hidup yang merekam alam, budaya, dan falsafah masyarakat Banjar.

Pada awalnya, pantun Banjar diwariskan secara lisan dan menjadi bagian dari keseharian masyarakat pedesaan dua generasi lalu. Namun, kini pantun-pantun itu juga muncul dalam bentuk tulisan dan menyebar melalui media digital.

Keistimewaan pantun Banjar terletak pada kemampuannya memotret kehidupan, menggambarkan lingkungan sekitar, dan menyampaikan nilai sosial, sekaligus menjadi wadah ekspresi emosi dan pikiran masyarakatnya.

Pantun Banjar dan Gambaran Alam

Salah satu pantun tradisional Banjar berbunyi:

Hayam putih tarabang ka jambu
Imbah ka jambu ka jamban pulang
Awak putih balaki guru
Imbah guru kumandan pulang

Pantun ini memuat gambaran kehidupan sehari-hari masyarakat Banjar tempo dulu yang erat dengan alam dan nilai sosial. Ayam putih dalam bait pertama menggambarkan hewan yang hidup bebas di perkampungan tanpa dianggap mengganggu.

Ayam sendiri memiliki makna simbolik karena tidak hanya berperan sebagai sumber lauk pada acara kenduri, tetapi juga menjadi penanda waktu lewat kokoknya, bahkan digunakan dalam ritual tradisional untuk menolak bala.

Pohon jambu yang disebut di baris berikutnya melambangkan kesuburan alam. Masyarakat Banjar kerap memanfaatkan batang dan dahannya untuk membuat gasing, permainan tradisional anak-anak, sehingga penyebutan "jambu" bukan sekadar nama buah, melainkan juga sebagai simbol kedekatan masyarakat dengan sumber daya alamnya.

Sementara jamban di tepi sungai menunjukkan keteraturan sosial di mana tiap keluarga memiliki jamban bernomor sebagai penanda alamat dan kepemilikan rumah.

Baris terakhir tentang "awak putih balaki guru" memperlihatkan nilai budaya bahwa wanita berkulit putih sebagai simbol kecantikan lebih memilih guru sebagai pasangan ketimbang komandan polisi.

Hal tersebut menggambarkan penghargaan masyarakat terhadap kecerdasan dan kehormatan, bukan hanya jabatan. Melalui pantun ini, terlihat bagaimana alam, nilai sosial, dan pandangan hidup berpadu menjadi satu kesatuan dalam sastra Banjar.

Pantun sebagai Media Nasihat

Pantun Banjar juga berfungsi sebagai media nasihat, seperti dalam contoh berikut:

Riang-riut punduk di hutan
Karabahan pisang timbatu
Rimut-rimut muntung Pa Tuan
Mamadahi anak minantu

Pantun ini memotret kehidupan petani Banjar yang sederhana. Punduk di hutan atau pondok di sawah menggambarkan tempat peristirahatan para petani, simbol dari kesahajaan dan kerja keras masyarakat Banjar yang agraris. Pisang timbatu yang disebut di dalamnya merupakan jenis pisang yang biasa dimakan muda sebagai sayur, mencerminkan kemakmuran hasil bumi dan kemandirian masyarakat dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Dalam bait inti, tokoh "Pa Tuan" digambarkan sedang menasihati anak dan menantunya yang menandakan pentingnya petuah orang tua dalam menjaga keharmonisan keluarga. Pantun ini kemudian menjadi sarana untuk menanamkan nilai hormat, tanggung jawab, dan kebijaksanaan hidup dari generasi ke generasi.

Pantun dan Ekspresi Perasaan

Selain sebagai media nasihat, pantun Banjar juga menjadi wadah untuk mengekspresikan perasaan cinta, dan rindu. Misalnya pada pantun berikut:

Tabang bamban kuricih-ricih
Imbah kuricih kubabat pulang
Hati dandam bamula ampih
Imbah ampih baumpat pulang

Bamban, sejenis tumbuhan rawa yang sering tumbuh di sawah, menjadi simbol kesederhanaan dan ketekunan. Tanaman ini banyak dimanfaatkan masyarakat untuk membuat bakul, atap rumah, dan tali pengikat daun rumbia.

Dalam pantun di atas, tumbuhan bamban menggambarkan keseharian dan kedekatan manusia dengan lingkungan. Sementara "hati dandam bamula ampih" bermakna gejolak cinta atau kerinduan yang harus dikendalikan.

Pantun ini menekankan pentingnya pengendalian emosi, bahwa meski rindu bisa reda seiring waktu, perasaan itu dapat kembali berkobar ketika bertemu dengan orang yang dicintai. Di sinilah harmoni antara perasaan dan kebijaksanaan hidup Banjar tercermin dengan indah.

Pantun lain yang serupa juga menampilkan unsur alam dan kerinduan:

Asam pauh dalima pauh
Rama-rama batali banang
Ading jauh kaka pun jauh
Sama-sama pada mangganang

Buah asam pauh dan dalima pauh melambangkan dua hal, yaitu realitas dan imajinasi masyarakat Banjar yang erat dengan alam. Penyebutan rama-rama atau kupu-kupu memiliki makna spiritual dan dianggap sakral sebagai pertanda datangnya tamu istimewa atau bahkan jelmaan pahlawan sakti.

Bait terakhir menyiratkan kerinduan antara dua sejoli yang berjauhan, namun tetap saling mengenang. Melalui pantun ini, masyarakat Banjar menyalurkan rasa cinta dengan cara yang halus dan penuh estetika, menggunakan alam sebagai bahasa untuk menyampaikan isi hati.

Pantun dan Identitas Lokal

Selain menggambarkan alam dan perasaan, pantun Banjar juga menjadi penanda identitas lokal. Contohnya tampak dalam pantun berikut:

Matan Ulin ka Palaihari
Liwat jalan ka Lianganggang
Nasib miskin nang ditangisi
Diri jauh di banua urang

Dalam pantun ini, nama-nama kampung seperti Matan Ulin, Lianganggang, dan Pelaihari digunakan sebagai simbol kebanggaan daerah. Matan Ulin identik dengan kayu ulin yang kuat dan bernilai tinggi, Lianganggang dikenal dengan hasil buah-buahannya, sedangkan Pelaihari merupakan pusat perdagangan yang ramai.

Pantun ini menceritakan seorang perantau miskin yang menangisi nasibnya karena jauh dari kampung halaman. Makna yang tersirat ialah tentang penerimaan hidup, kerja keras, dan kerinduan pada asal-usul tempat tinggalnya.

Itu tadi berbagai macam pantun Banjar dengan makna filosofis yang masih melekat dan relevan hingga kini. Melestarikan pantun Banjar bisa jadi salah satu cara kita untuk tetap menghidupkan nilai-nilai baik yang terkandung di dalamnya. Semoga bermanfaat!

Halaman 4 dari 5


Simak Video "Video: Penjelasan BPOM soal Taiwan Larang Indomie Soto Banjar "
[Gambas:Video 20detik]
(des/des)
Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads