Erau merupakan salah satu tradisi yang paling ditunggu warga Kutai Kartanegara. Erau adalah upacara adat tahunan yang digelar oleh kerabat Kesultanan Kutai Kartanegara dengan pusat kegiatan berada di Kota Tenggarong. Dari sekian banyak prosesi di dalamnya, ada satu yang paling dinanti sekaligus menjadi penutup seluruh rangkaian, yakni belimbur.
Penutupan rangkaian acara sendiri dilakukan di Desa Kutai Lama, Kecamatan Anggana. Desa yang berada di tepian Sungai Mahakam ini memiliki nilai sejarah penting. Pada awal abad ke-13, Desa Kutai Lama pernah menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Kutai Kartanegara sebelum akhirnya dipindahkan ke Jembayan dan kemudian ke Tenggarong, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Penasaran seperti apa prosesinya dan mengapa belimbur menjadi momen yang sangat ditunggu-tunggu? Yuk, simak informasinya berikut ini, dihimpun detikKalimantan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Awal Prosesi: Mengulur Naga sebagai Pembuka Belimbur
Sebelum sampai pada prosesi belimbur, masyarakat akan menyaksikan ritual Mengulur Naga. Sepasang naga, yaitu Naga Laki dan Naga Bini, diarak dari Keraton Kesultanan Kutai Kartanegara di Tenggarong menuju Kutai Lama, Kecamatan Anggana. Kutai Lama adalah tempat bersejarah, karena di sinilah awal mula berdirinya Kesultanan Kutai sebelum berpindah ke Jembayan dan kemudian ke Tenggarong.
Tubuh naga dilepaskan atau dilarung ke Sungai Mahakam sebagai simbol pengembalian ke asalnya, sementara kepala dan ekor naga dibawa pulang untuk kembali disemayamkan di Keraton.
Mengulur Naga ini menjadi tanda bahwa Erau telah sampai pada tahap akhir dan selanjutnya dilanjutkan dengan prosesi belimbur.
Apa Itu Belimbur?
Belimbur adalah ritual adat terakhir dalam Erau yang bermakna sebagai upacara penyucian diri Sultan Kutai Kartanegara Ing Martadipura dari segala pengaruh jahat, baik yang tampak maupun tak kasat mata. Air menjadi unsur utama dalam prosesi ini. Sebab, air diyakini sebagai sumber kehidupan yang mampu melunturkan hal-hal buruk sekaligus memberi keberkahan.
Belimbur dimulai dari Sultan yang terlebih dahulu memerciki tubuhnya dengan Air Tuli, yaitu air suci yang diambil dari perairan Kutai Lama. Air ini diperciki dengan menggunakan mayang pinang lalu disebarkan ke empat penjuru mata angin sebagai simbol perlindungan semesta.
Setelah itu, Sultan memercikkan air kepada keluarga kerajaan dan kerabat terdekat, kemudian masyarakat luas ikut serta dalam ritual penyucian ini.
Belimbur bukan hanya dilakukan di sekitar Museum Mulawarman atau Keraton Kutai Kartanegara. Melainkan hampir di seluruh Tenggarong. Masyarakat saling menyiramkan air dengan penuh suka cita. Di jalan-jalan, di gang-gang kecil, bahkan di setiap sudut kota, orang-orang basah kuyup sambil tertawa bahagia.
Meski demikian, ada syarat yang harus ditaati, siapa pun yang disiram tidak boleh marah. Semua orang harus menerima siraman air dengan riang gembira karena inti dari belimbur adalah pembersihan diri dan kebersamaan.
Inilah yang membuat prosesi ini terasa seperti pesta rakyat, di mana batas antara bangsawan, rakyat biasa, dan pendatang melebur dalam satu kebahagiaan.
Aturan dan Tata Krama dalam Belimbur
Meskipun penuh keceriaan, belimbur tetap memiliki aturan adat yang ketat. Sultan Kutai Kartanegara Ing Martadipura telah menetapkan tata krama melalui Titah Sultan Nomor 004/SK-PM/SKKIM/IX/2022.
Aturan tersebut menekankan bahwa siapa pun yang mengikuti belimbur harus menjaga kepatutan, tidak boleh menggunakan air kotor seperti air selokan, serta menghormati jalannya prosesi mengulur naga sebelum belimbur dimulai.
Pelanggaran terhadap tata krama belimbur tidak dianggap sepele. Kesultanan memberlakukan sanksi adat berdasarkan mufakat Majelis Tata Nilai Adat, bahkan juga mengacu pada hukum positif Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa belimbur menjadi ritual sakral yang dijunjung tinggi.
Di sisi lain, prosesi belimbur juga menghadapi tantangan. Tidak jarang ada penonton yang tidak sabar dan memulai siram-siraman sebelum prosesi resmi dimulai. Hal ini kadang menimbulkan kericuhan kecil, bahkan membuat suasana sakral menjadi terkesan hanya seperti permainan air semata.
Padahal, belimbur memiliki tujuan luhur. Menurut Sri Devi dalam karya nya berjudul Kajian Tentang Tradisi Berlimbur Pada Budaya Erau Di Desa Kutai Lama Kecamatan Anggana Kabupaten Kutai Kartanegara (2020), belimbur adalah bentuk rasa syukur atas kelancaran Erau, serta sarana pembersihan diri dari sifat buruk. Karena itu, penggunaan air harus bersih dan dilakukan dengan tertib, agar makna sakralnya tetap terjaga.
Makna Sakral Belimbur
Belimbur memiliki banyak lapisan makna. Pertama, tradisi ini adalah simbol keberkahan dan keselamatan. Dengan disiram air suci, diharapkan Sultan, keluarga, hingga rakyat Kutai terhindar dari malapetaka.
Kedua, belimbur merupakan bentuk pembersihan diri. Air dipercaya melunturkan sifat buruk manusia, seperti amarah, iri hati, dan berbagai hal yang mengotori batin. Karena itu, masyarakat yang ikut serta diharapkan memulai hidup baru dengan hati yang lebih bersih.
Ketiga, prosesi ini juga menegaskan hubungan spiritual antara Sultan dengan kekuatan magis yang diyakini oleh adat. Melalui belimbur, Sultan dianggap menegakkan kebenaran, baik yang tersurat maupun tersirat, sekaligus menerima pancaran kekuatan spiritual yang akan menjaga masyarakat Kutai Kartanegara.
Belimbur adalah puncak sekaligus penutup dari seluruh rangkaian Erau, perayaan adat terbesar di Kutai Kartanegara. Tradisi ini mengajarkan tentang pentingnya kebersihan diri, kebersamaan, dan doa keselamatan bagi semua. Tidak heran masyarakat Kutai Kartanegara selalu menyambut perayaan ini dengan riang gembira.
Simak Video "Menghabiskan Waktu Bersama Warga dalam Kegiatan Seru di Pantai Pulau Segajah, Kalimantan Timur"
[Gambas:Video 20detik]
(des/des)