Legenda Hantuen: Cerita Mistis Hantu Kepala dari Kalteng

Legenda Hantuen: Cerita Mistis Hantu Kepala dari Kalteng

Bayu Ardi Isnanto - detikKalimantan
Jumat, 12 Sep 2025 14:00 WIB
Woman in white dress with the boy walking in haunted forest,3d rendering
Ilustrasi hantu. Foto: Getty Images/chainatp
Palangka Raya -

Legenda Hantuen adalah cerita rakyat yang hingga kini masih dipercaya oleh sebagian masyarakat Kalimantan Tengah (Kalteng), terutama di Tewah, Kabupaten Gunung Mas.

Dikutip dari buku #Hantupedia: Ensiklopedia Hantu-hantu Nusantara oleh Trio Hantu CS, Hantuen adalah hantu jadi-jadian. Pada malam-malam tertentu mereka berubah bentuk menjadi kepala manusia.

Hantuen suka terbang mencari mangsa dan mengisap darah manusia. Konon, leluhur mereka adalah siluman yang kemudian dikucilkan oleh masyarakat dan membentuk suku sendiri, kemudian menjadi Hantuen.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Seperti apa legenda atau cerita rakyat yang tersebar? Simak kisahnya berikut ini yang dikutip dari buku Kumpulan Cerita Rakyat Nusantara oleh Sumbi Sambangsari.

Asal-usul Legenda Hantuen

Sepanjang aliran Sungai Kahayan, masyarakat Dayak Ngaju dan Dayak Ot Danum menyimpan kisah tentang Hantuen, yaitu makhluk jadi-jadian yang dipercaya berasal dari manusia berilmu gaib.

Pada siang hari mereka tampak seperti orang biasa, namun di malam hari dapat melepaskan kepala dari tubuhnya dan terbang mencari darah bayi yang baru lahir. Meski kemampuan itu diyakini di luar kehendak mereka, reputasi Hantuen membuat penduduk waspada, terutama para ibu yang baru melahirkan.

Cerita ini bermula di Baras Semayang, sebuah kampung di tepi sungai. Di sana tinggal Tapih, gadis cantik berkulit kuning langsat, anak dari pembuat keranjang rotan dan tanggul dareh, yaitu topi adat bertepi lebar yang digunakan dalam upacara pemandian anak pertama kali.

Suatu hari, saat mandi di sungai, topi Tapih hanyut terbawa arus. Karena topi itu memiliki nilai adat, Tapih dan ayahnya menyusuri Sungai Rungan untuk mencarinya.

Pencarian membawa mereka hingga ke Sepang Simin, di mana topi itu ditemukan oleh seorang pemuda tampan bernama Antang Taung. Menolak hadiah emas sebagai tanda terima kasih, Antang Taung justru melamar Tapih. Lamaran itu diterima, dan pernikahan adat pun digelar dengan meriah.

Menurut adat setempat, pasangan pengantin baru harus bergiliran tinggal di rumah orang tua masing-masing. Namun, hutan lebat di antara kedua desa membuat perjalanan berbahaya.

Warga sepakat membangun jalan penghubung yang kelak dikenal sebagai Jalan Langkuas. Saat pembangunan dimulai dari Baras Semayang, para pekerja sering kehilangan makanan dan barang di gubuk mereka.

Suatu hari, para pekerja berpura-pura pergi bekerja untuk mencari tahu sumber masalahnya. Mereka melihat seekor angkes (landak) masuk, menggoyangkan tubuhnya, lalu berubah menjadi pemuda tampan.

Pemuda jelmaan itu ditangkap. Ia memohon ampun dan berjanji menebus kesalahan dengan membantu menyelesaikan jalan. Ajaibnya, ia menuntaskan pekerjaan panjang itu hanya dalam tiga hari. Kagum, Tapih dan Antang Taung mengangkatnya sebagai anak.

Beberapa waktu kemudian, Tapih hamil. Saat mengidam ikan kali, Antang Taung meninggalkan seekor ikan tomang di perahu. Keesokan harinya, ikan itu berubah menjadi bayi perempuan cantik.

Bayi ini pun diangkat menjadi anak. Aneh, bayi tersebut tumbuh menjadi gadis dewasa hanya dalam beberapa bulan. Kedua anak angkat tersebut saling jatuh cinta, menikah, dan punya anak.

Namun kebahagiaan mereka tak bertahan lama. Anak pertama pasangan jelmaan itu meninggal tak lama setelah lahir.

Menurut adat Dayak Ngaju, arwah harus melalui dua upacara kematian, yaitu dikuburkan kemudian setelah jadi tulang belulang, dilakukan pembakaran. Upacara yang disebut tiwah ini dilakukan untuk membebaskan roh menuju Lewu Tatau, sebutan surga bagi orang Dayak.

Saat Tapih dan Antang Taung hendak men-tiwah anak yang meninggal tersebut, pasangan jelmaan juga itu ingin melakukan hal sama untuk anak mereka. Larangan Tapih dan Antang Taung diabaikan.

Ketika kuburan digali, warga terkejut karena yang ada hanyalah tulang hewan dan ikan. Rahasia asal-usul pasangan itu terbongkar. Karena malu, mereka meninggalkan Sepang Simin, masuk ke hutan belantara, dan membangun pemukiman baru. Di sanalah mereka beranak-pinak, membentuk komunitas yang kelak dikenal sebagai Hantuen.

Keturunan Hantuen diyakini sebagian masih mewarisi kemampuan berubah menjadi hantu jadi-jadian. Pada siang hari mereka hidup normal, namun malam hari dapat melepaskan kepala dan mencari darah bayi. Seiring waktu, banyak keturunan Hantuen menikah dengan manusia biasa, sehingga garis keturunan asli memudar.

Bagi masyarakat di sepanjang Sungai Kahayan, kisah ini menjadi peringatan tentang bahaya melanggar adat dan kekuatan gaib. Jalan Langkuas yang menghubungkan Baras Semayang dan Sepang Simin masih disebut-sebut sebagai bukti nyata peristiwa dalam legenda ini.




(bai/des)
Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads