Masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan di perantauan punya tradisi unik menyambut kelahiran Nabi Muhammad SAW. Salah satunya tradisi yang disebut Aruh Maulud atau Kenduri Mulud, perayaan syiar agama sekaligus pesta budaya yang dilakukan masyarakat Banjar perantauan.
Dengan tradisi ini, masyarakat Banjar yang telah menetap di luar daerah pun masih bisa ikut merasakan kemeriahan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW seperti di kampung halaman.
Aruh Maulud sendiri menjadi bentuk akulturasi antara ajaran Islam dengan kearifan lokal Banjar. Tradisi ini digelar bukan hanya sebagai ritual, tetapi juga menjadi media silaturahmi, sarana pendidikan, dan alat spiritual yang diwariskan lintas generasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Makna dan Esensi Aruh Maulud
Bagi orang Banjar, Aruh Maulud lebih dari sekadar perayaan tahunan. Tradisi ini diyakini sebagai wujud rasa syukur kepada Allah SWT atas lahirnya Nabi Muhammad SAW.
Mengutip Media Center Pemkab Serdang Bedagai, Wakil Bupati Serdang Bedagai Adlin Tambunan pada 2023 pernah menyebut bahwa Aruh Maulud adalah budaya penuh simbolik, sarat dengan sejarah, makna filosofis, akulturasi, dan prosesi budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Di dalamnya terkandung doa agar umat Islam semakin mencintai Rasulullah, menjaga ukhuwah Islamiyah, dan meneladani akhlak Nabi dalam kehidupan sehari-hari. Tradisi ini juga mengajarkan tentang kedermawanan karena setiap keluarga akan berbagi makanan kepada tamu yang hadir.
Rangkaian Prosesi Aruh Mulud
Pelaksanaan Aruh Maulud biasanya dimulai pagi hari. Warga berkumpul di rumah yang ditunjuk sebagai tuan rumah atau di masjid setempat. Acara diawali dengan pembacaan ayat suci Al Quran, dilanjutkan dengan ceramah, takbir, dan doa bersama.
Setelah semua rangkaian selesai, acara akan dilanjutkan dengan makan bersama. Setiap keluarga sudah menyiapkan makanan dari rumah sejak pagi.
Satu keluarga biasanya menanggung jamuan untuk delapan hingga dua belas orang, tergantung kemampuan ekonomi masing-masing. Di sinilah nilai kedermawanan sangat terasa, di mana semua orang datang untuk memberi, bukan hanya menerima.
Hidangan yang disajikan pun khas Banjar. Ada ampal hitam dan ampal putih, dua jenis gulai daging atau ayam dengan cita rasa rempah kuat, serta sayur nanas yang segar berpadu manis pedas. Beberapa keluarga juga melengkapi dengan ayam bakar, sop kaki sapi, dan menu lainnya.
Simbol Silaturahmi Antar Etnis
Menariknya, Aruh Maulud tidak hanya diikuti oleh warga Banjar saja. Di perantauan, seperti di Serdang Bedagai, Sumatera Utara, tradisi ini justru diramaikan juga oleh etnis Melayu, Jawa, Batak, dan lainnya. Semua datang tanpa melihat perbedaan latar belakang, karena inti dari Aruh Maulud adalah menjalin silaturahmi dan memperkuat rasa persaudaraan.
Kehadiran lintas etnis ini menunjukkan bahwa tradisi keagamaan bisa menjadi ruang interaksi budaya yang harmonis. Nilai ukhuwah Islamiyah tidak hanya berlaku antar sesama muslim, tetapi juga terjalin dalam bentuk toleransi dan kebersamaan sosial.
Penelitian etnografi berjudul Nilai Religi Dalam Tradisi Aruh Maulud Suku Banjar Di Desa Lubuk Bayas oleh Siti dan Hasnah (2025) menyebutkan bahwa Aruh Maulud di kalangan masyarakat Banjar perantauan juga berfungsi sebagai sarana pendidikan budaya. Anak-anak dan generasi muda dilibatkan dalam acara ini agar mengenal tradisi leluhur mereka. Dengan begitu, identitas Banjar tetap lestari meski mereka hidup di era modern seperti saat ini.