Pemerhati sejarah kolonialisme Belanda dan Perang Dunia II, Yusuf Sofian mengungkap fakta menarik tentang asal-usul kampung-kampung di Pulau Tarakan, Kalimantan Utara.
Penjelasannya berdasarkan dokumen digital seperti Memorie Van Overgave Onderafdeling Tarakan 1934, peta Badan Penyelidikan Minyak (BPM), foto udara intelijen Sekutu, dan artikel koran De Preanger-Bode. Dokumen-dokumen tersebut menceritakan dinamika perpindahan penduduk, pembentukan kampung, dan pengaruh kolonial Belanda pada awal abad ke-20.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kampung-kampung di Tarakan:
1. Kampung Mamboerongan
Kampung ini terbentuk pada 1933 akibat perpindahan penduduk dari Kampung Peningki Lama, dipimpin oleh Achmad dengan Anang, seorang Melayu pesisir, sebagai kepala kampung pertama. Karena dekat dengan Peningki Lama, kampung ini juga kerap disebut Kampung Peningki.
"Versi masyarakat lokal, nama Mamboeroengan diambil dari nama Temberungun sejenis kerang yang banyak di wilayah tersebut. Seiring waktu, nama tersebut berubah menjadi Mamboeroengan," ujar Sofian.
2. Kampung Tifong
Pada 1933, pembelian lahan untuk barak militer di Lembah Utara (Sekarang Mess AL Kampung Bari) dan Lembah Selatan (RSAL Panglima Batur) menyebabkan puluhan warga Tionghoa kehilangan lahan permukiman.
"Pemerintah Hindia Belanda menempatkan puluhan warga Tionghoa di wilayah seberang Kampoeng Baru yang dinamakan Kampong Tifong dengan sistem sewa," ungkap Sofian.
Kini, lokasi ini membentang dari Jembatan Putih hingga depan Polsek Tarakan Barat. Penduduk Tionghoa di sini aktif berkebun di Kampung Bugis.
3. Kampung Baroe
Kampung Baroe dibangun pada 1930 sebagai kawasan niaga dengan pasar dan pertokoan oleh Belanda. Namun saat itu tidak sesuai harapan.
"Aktivitas perdagangan di Kampong Baroe tetap saja tidak menunjukkan peningkatan, banyak bangunan pertokoan yang kosong," kata Sofian, merujuk Memorie Van Overgave 1934.
Rencana pembangunan barak militer di Lembah Selatan pada 1933 sempat membuat warga putus asa. Setelah diskusi dengan Resident dan Dinas Insinyur, barak dibangun di Lembah Utara, dekat Kampung Baroe, sehingga perdagangan mendapat manfaat.
4. Kampung Bugis
Pada 1933-1934, warga Bugis dan Makassar tidak memiliki lahan hunian dan kurang tertarik menetap permanen. "Orang-orang Bugis yang dipimpin oleh Daeng Teroe berhasil mereklamasi lahan dan membangun perkampungan mandiri yang dikenal hingga saat ini dengan nama Kampoeng Boegis," jelas Sofian.
Lahan ini dialokasikan oleh Controuleur A. Deeleman di dekat Kampung Sidodadi dan Peningki Baroe.
5. Kampung Peningki Baroe dan Lama
Kampung Peningki Baroe terbentuk pada 1933 setelah lahan Peningki Lama dibeli untuk keperluan pertahanan artileri pantai. "Perpindahan penduduk Kampong Peningki Lama dipimpin Hadji Ali, menetap di Kampong Peningki Baroe dipimpin Datoe Oedin," ujar Sofian.
Peningki Lama yang ada sejak 1900-an dihuni nelayan Melayu Tidung. "Dalam dokumen De Preanger-Bode tanggal 21 Februari 1915, penduduk Kampong Peningki Lama terlibat pemberontakan Datoe Adil melawan Kesultanan Bulungan. Pada 1933, penduduknya pindah ke kampung seperti Mamboerongan dan Sidodadi," imbuhnya.
6. Kampung Sebengkok
Kampung Sebengkok bagian dari Kampung Lingkas. Nama kampung ini diambil dari nama Sungai Seibengkok yang berkelok.
"Kampoeng Sebengkok menjadi pusat pelabuhan kapal dagang kecil untuk menjual hasil laut dan kebun di Pasar Batu Sebengkok," kata Sofian.
Dihuni suku Banjar dan Jawa, kampung ini dipimpin Penggerak Gadoem. Pada 1934, Belanda menetapkan Lingkas dan Pamoesian sebagai kawasan permukiman administratif melalui Residentsbesluit No. 86/L/C.
7. Kampung Selumit
Nama Kampung Selumit diambil dari nama Sungai Selumit, dan mulai dibuka pada 1930 seiring pembangunan jalan oleh BPM. Dihuni Melayu Tidung dan dipimpin Djang Alang, kampung ini berkembang setelah pembukaan lahan.
"Penduduk Kampong Selumit menanam pohon kelapa hingga dikenal sebagai Kampong Klapa," ungkap Sofian.
8. Goenoeng Tjakoei
Goenoeng Tjakoei diambil dari nama kue Tionghoa. Awalnya, ini permukiman pedagang Tionghoa sejak 1918.
"Nama Goenoeng Tjakoei adalah transformasi dari nama kue Tjakoei yang diperdagangkan pedagang Tionghoa," jelas Sofian.
Pada 1935, BPM menjadikannya cadangan pengeboran minyak, terletak di antara Jalan Ladang, Tjinastraat, Bioscoopstraat, Masjidweg, dan Lingkasweg.
9. Kampung Lingkas
Nama Kampung Lingkas dari istilah Melayu ringkas (lihat disana). Kampung ini menjadi pelabuhan sejak 1896 saat eksplorasi minyak dimulai.
"Pascakebakaran besar di Goenoeng Tjakoei pada 1930, penduduk pindah ke Jalan Lingkas Baru, dibangun pertokoan baru dengan kredit 4 tahun," ujar Sofian.
10. Kampung Djoeata Laoet
Kampung Djoeata Laoet diduga berdiri sejak 1879. Kampung ini diduga sebagai kampung tertua di Tarakan.
"Kampong ini digunakan sebagai tempat singgah bajak laut Sulu," kata Sofian.
Pada 1933, lahannya dibeli untuk keperluan militer yang menyebabkan penduduk pindah ke Kampung Baroe, dipimpin oleh Oedin. Lokasi ini kini membentang dari Bukit Lereng Meriam hingga Gapura Jalan Lurus Djoeata.
11. Kampung Karang Antjar
Kampung Karang Antjar mulai dikembangkan pada 1928-1930 melalui reklamasi lahan. Dihuni mayoritas suku Jawa, kampung ini dipimpin oleh Anang Atjat dari Kampung Sidodadi.
"Agar warga tetap bertahan, dibangunlah langgar di Kampong Karang Antjar," ungkap Sofian.
Dokumen seperti Memorie Van Overgave 1934, peta BPM, dan foto udara intelijen Sekutu menjadi bukti otentik dinamika sosial, ekonomi, dan politik Tarakan pada masa kolonial. Jejak kampung-kampung ini masih terasa hingga kini di Pulau Tarakan.
"Dokumen seperti Memorie Van Overgave dan peta BPM menunjukkan bagaimana kolonial Belanda membentuk permukiman di Tarakan," tutup Sofian.
(sun/des)