Pantai Binalatung di Tarakan, Kalimantan Utara, bukan hanya destinasi wisata bahari dengan pasir putih dan deru ombak yang menggugah.
Di balik pesonanya, pantai ini menyimpan memori kelam sebagai titik awal invasi Jepang ke Indonesia pada Januari 1942. Namun kini, keindahan alam dan nilai sejarahnya terkubur tumpukan sampah plastik dan modernisasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Keindahan Terkubur Sampah
Berdasarkan pantauan detikKalimantan, Pantai Binalatung kini jauh dari kata indah. Tumpukan sampah plastik yang diduga imbas dari aktivitas petani rumput laut dan kiriman dari wilayah lain, mencemari garis Pantai Binalatung, Amal Lama, dan Amal Baru.
Seperempat abad lalu, pantai ini memikat dengan pasir putih bersih, suara burung merdu, pohon kelapa yang menjulang, serta kerang-kerang unik yang mudah ditemukan. Kini, keindahan itu meredup, tergantikan aktivitas nelayan dan pembangunan seperti objek wisata Ratu Pantai Intan, serta Markas Batalyon Marinir Pertahanan Pangkalan XIII Tarakan.
Meski begitu, Pantai Binalatung masih menjadi magnet bagi warga lokal. Pasir putih dan pohon cemara di sepanjang pantai tetap menarik muda-mudi untuk menikmati angin sepoi-sepoi dan suara ombak di akhir pekan. Namun, nilai sejarahnya seolah tenggelam, tertutup sampah dan bayang-bayang modernisasi.
Jejak Invasi Jepang dan Tugu Perabuan
Menurut pemerhati sejarah kolonialisme Belanda dan Perang Dunia II, Yusuf Sofian, Pantai Binalatung menjadi pintu gerbang masuknya tentara Jepang ke Tarakan pada Januari 1942.
"Jepang masuk ke Tarakan melalui Pantai Binalatung. Dari sana, mereka berpencar ke Kampung 6 dan Tanjung Pasir untuk melumpuhkan benteng pertahanan Belanda di Tanjung Pasir dan Peningki Laid," ungkap Yusuf kepada detikKalimantan, Rabu (13/8/2025).
Invasi berlangsung cepat. Hanya dalam dua hari, berkat keunggulan persenjataan dan jumlah pasukan Jepang yang jauh melampaui Belanda, Tarakan bisa dikuasai.
Aktivitas intelijen Jepang sebelum invasi juga memainkan peran kunci. Perusahaan Jepang seperti NRKK dan usaha lain, termasuk Hotel Minamoto di Lingkas, diduga menjadi kedok untuk memetakan kelemahan pertahanan Belanda.
"Mereka sudah ada di sini, berdagang, refueling kapal, atau membuka usaha. Bisa jadi itu bagian dari spionase, meski bukti konkret soal mata-mata belum ditemukan," jelas Yusuf.
Di tengah narasi invasi, Tugu Perabuan Jepang di Markoni menjadi simbol penting. Menurut Yusuf, tugu itu didirikan sebelum Perang Dunia II, terkait keberadaan warga Jepang yang tinggal di Tarakan, baik sebagai pekerja perusahaan maupun individu yang meninggal di sana.
"Tugu Perabuan itu berkaitan dengan orang-orang Jepang yang sudah ada di Tarakan sebelum perang. Markoni dipilih karena saat itu menjadi pusat kota," tuturnya.
Tugu yang dibangun untuk mengenang warga Jepang yang jasadnya dibakar sesuai tradisi, menjadi salah satu peninggalan yang kini masih menarik perhatian. Banyak warga Jepang yang berkunjung ke Tarakan karena ikatan keluarga atau sejarah.
Peninggalan Sejarah yang Tersisa
Setelah invasi, Jepang menguasai Tarakan selama 3,5 tahun hingga Mei 1945, sebelum sekutu yang dipimpin Australia, Amerika, dan Belanda melancarkan serangan balik.
"Jepang punya taktik cerdas. Mereka membiarkan sekutu masuk, lalu menyerang dari hutan. Gunung Selatan jadi markas utama karena posisinya strategis di tengah pulau," ungkap Yusuf.
Namun, banyak peninggalan Jepang seperti bunker, kini telah runtuh atau tertutup. Meski begitu, Gunung Selatan tetap menjadi titik utama penemuan artefak Jepang, meski eksplorasi terhambat minimnya dokumentasi dan kesadaran masyarakat lokal.
"Sekutu meledakkan bunker-bunker itu karena takut jebakan. Jadi, susah menemukan yang utuh sekarang," tambahnya
Tantangan Melestarikan Sejarah
Yusuf mengaku menghadapi tantangan besar dalam mengumpulkan data. "Dokumen Belanda, Australia, atau Amerika sulit dilacak. Nama-nama tokoh atau informan sekutu, misalnya, sering tak dikenal lagi oleh masyarakat lokal," keluhnya.
Keterbatasan akses ke dokumen fisik dan sumber online juga menjadi kendala, kecuali jika penelusuran dilakukan langsung ke negara asal dokumen, seperti Belanda. Meski begitu, minat Yusuf terhadap sejarah ini berakar dari keterlibatan keluarganya pada masa perang.
"Kakek saya terlibat, dan saya ingin orang tahu bahwa Tarakan adalah titik awal invasi Jepang ke Indonesia," tutupnya.
(sun/aau)