Tarakan, pulau kecil di Kalimantan Utara, menjadi pintu masuk tentara Jepang ke Indonesia pada 11 Januari 1942. Mengapa Jepang memilih Tarakan sebagai pintu masuk?
Menurut pemerhati sejarah Kolonialisme Belanda dan Perang Dunia II, Yusuf Sofian, alasan di balik pilihan strategis itu berkaitan dengan keberadaan sumber daya alam (SDA) minyak, dan aktivitas ekonomi Jepang di Tarakan sejak era sebelum perang.
Yusuf menerangkan sejak tahun 1930-an, orang-orang Jepang sudah masuk Tarakan melalui perusahaan bernama Nanyo Ringyo Kabushiki Kaisha (NRKK). Perusahaan itu mendapat izin konsesi penebangan kayu dari Belanda di wilayah Sesayap.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jepang sudah menjejakkan kaki di Tarakan jauh sebelum invasi. Mereka mengelola usaha penebangan kayu, yang memberi mereka pemahaman mendalam tentang wilayah ini," ujar Yusuf.
Saat itu, Jepang juga berambisi untuk mendapatkan izin eksplorasi minyak dari Belanda. Sebab, Tarakan dikenal sebagai salah satu penghasil minyak penting di zaman Hindia Belanda.
Namun Belanda tidak memberikan izin. Sebab, saat itu Jepang terlibat dalam perang invasi di Tiongkok, yang memicu ketegangan geopolitik.
"Belanda tidak ingin memberikan akses minyak kepada Jepang, apalagi setelah Amerika Serikat memberlakukan embargo minyak terhadap Jepang," tambah Yusuf.
Minyak Tarakan Incaran Jepang
Embargo minyak oleh AS pada awal 1940-an membuat Jepang terdesak, dan harus mengamankan sumber bahan bakar untuk kebutuhan perang. Maka dari itu, Jepang mengincar minyak Tarakan.
"Jepang sudah lama mengincar minyak Tarakan. Ketika perang pecah, mereka melihat Tarakan sebagai pintu masuk ideal untuk menguasai sumber daya ini," jelas Yusuf.
Selain faktor minyak, posisi geografis Tarakan yang strategis juga menjadi pertimbangan. Pulau ini terletak di jalur perdagangan maritim dan memiliki infrastruktur pelabuhan yang memadai, yang memungkinkan Jepang untuk mendaratkan pasukan dengan cepat.
"Tarakan bukan hanya soal minyak, tetapi juga lokasinya yang memudahkan Jepang untuk melancarkan invasi lebih lanjut ke wilayah lain di Indonesia," ungkap Yusuf.
Soal Dugaan Mata-mata Jepang di Tarakan
Yusuf juga menyebut keberhasilan Jepang menguasai Tarakan dalam dua hari pada Januari 1942, tidak lepas dari persiapan matang mereka. Aktivitas perusahaan Jepang sebelum perang, termasuk NRKK, diduga menjadi kedok untuk operasi intelijen.
"Orang-orang Jepang yang beroperasi di Tarakan sebelum perang kemungkinan besar mengumpulkan informasi tentang pertahanan Belanda, meski belum ada bukti konkret bahwa mereka adalah mata-mata," katanya.
Pertahanan Belanda di Tarakan, yang terdiri dari benteng-benteng di Peninggi Lair, Tanjung Pasir, Juwata, dan Amal, dinilai lemah karena persenjataan yang ketinggalan zaman dan jumlah pasukan yang terbatas.
"Jepang memanfaatkan kelemahan itu dengan strategi serangan cepat, langsung menargetkan instalasi minyak sebagai aset utama," tambah Yusuf.
Jejak Jepang di Tarakan
Invasi Jepang di Tarakan meninggalkan jejak sejarah yang masih dapat dilihat hingga kini, seperti bunker-bunker di Gunung Selatan dan Tugu Prabuwan Jepang di Markoni. Menurut Yusuf, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengungkap detail sejarah tersebut, terutama karena sulitnya mengakses dokumen asli dari Belanda, Australia, dan Amerika.
"Tarakan adalah saksi bisu bagaimana Jepang memanfaatkan strategi ekonomi dan militer untuk menguasai Indonesia. Kisah ini perlu terus dilestarikan agar generasi mendatang memahami peran penting Tarakan dalam Perang Dunia II," tutup Yusuf.
(sun/sun)