Pendudukan Jepang di Tarakan, Kalimantan Utara, selama Perang Dunia II meninggalkan jejak mendalam bagi masyarakat lokal. Masyarakat hidup dalam propaganda hingga krisis pangan.
Menurut pemerhati sejarah kolonialisme Belanda dan Perang Dunia Kedua, Yusuf Sofian, pendidikan di era Jepang 1942-1945, minim substansi akademik dan lebih bertujuan membentuk loyalitas terhadap kekaisaran Jepang.
"Jepang mengubah pendidikan di Tarakan. Kalau Belanda fokus pada keilmuan, Jepang hanya memasukkan propaganda perlawanan terhadap Sekutu dan kolonialisme," ujar Yusuf kepada detikKalimantan, Selasa (12/8/2025).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain propaganda, masyarakat Tarakan menghadapi tantangan besar akibat krisis pangan.
"Suplai makanan dari Jawa sering dihancurkan Sekutu di laut. Kapal barang tenggelam, bahan pokok susah sampai," jelas Yusuf.
Untuk mengatasi ini, Jepang mendorong warga lokal mengembangkan perkebunan, khususnya di Kampung Bugis.
"Kampung Bugis jadi ramai karena orang-orang menanam sayur dan tanaman pangan untuk kebutuhan Jepang," ungkapnya.
Kebijakan Jepang ini, meski bertujuan mendukung kebutuhan perang, secara tidak langsung meningkatkan aktivitas pertanian di Kampung Bugis, menjadikannya pusat ketahanan pangan.
"Masyarakat dipaksa memenuhi kebutuhan Jepang, tapi ini juga bikin Kampung Bugis berkembang," kata Yusuf.
Meski ada perubahan sosial seperti pergantian mata uang dan pemerintahan, Yusuf menilai kehidupan masyarakat lokal tidak banyak berubah.
"Secara garis besar, hidup tetap sama, cuma ganti penguasa. Tidak ada catatan perlawanan lokal," tuturnya.
Namun, kebijakan Jepang yang berfokus pada kepentingan perang meninggalkan kesan tersendiri bagi warga Tarakan.
(bai/bai)