Lomba balap jukung sudah menjadi tradisi di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Kegiatan ini digelar hampir setiap tahun dalam berbagai kesempatan, antara lain untuk memeriahkan HUT RI.
Uniknya, lomba semacam ini tidak hanya digelar pemerintah dengan peserta profesional. Namun ada juga kelompok masyarakat yang mengadakan lomba balap jukung.
Bagaimana balap jukung bisa menjadi tradisi di Banjarmasin? Simak apa itu jukung, pelaksanaan balap jukung, hingga penggunaan jukung oleh warga Banjarmasin dan sekitarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apa Itu Jukung?
Dikutip dari buku Warisan Bahari Indonesia karya Bambang Budi Utomo, jukung adalah perahu tradisional yang digunakan masyarakat Dayak dan Melayu-Banjar. Dahulu mereka mudah membuatnya dari kayu hutan Kalimantan, khususnya jenis Dipterocarp yang tumbuh tinggi di kawasan pedalaman seperti Sungai Mangkutup dan Mutoi.
Pembuatan jukung dimulai dengan memilih dan menebang pohon, lalu membentuk bakalan (calon jukung) menggunakan alat tradisional untuk mengorek bagian dalam kayu dan membuat rongga. Bakal jukung ini kemudian dipindahkan ke sungai terdekat melalui rel kayu sederhana.
Proses selanjutnya dilakukan di Sungai Manusop dan Sungai Dusun, di mana kelompok kerja menyelesaikan pengerokan bagian dalam dan luar hingga bentuk jukung mulai terlihat. Dinding lambung ditipiskan dan dibuka menggunakan teknik mamaru, yaitu pemanasan bagian bawah dengan api sambil mengisi bagian dalam dengan air, menghasilkan uap panas yang melebarkan rongga.
Setelah dibalik dan dibuka perlahan, jukung dibawa ke Pulau Alalak untuk tahap akhir seperti pemasangan bagian sampung, panggar, dan penapih, hingga menjadi perahu siap pakai.
Pelaksanaan Lomba Balap Jukung
Salah satu pelaksanaan lomba balap jukung yang ditunggu-tunggu adalah yang diselenggarakan Pemprov Kalimantan Selatan. Dari situs resminya, lomba balap jukung tradisional digelar rutin setiap tahun sebagai bagian dari pelestarian budaya sungai dan pencarian bibit atlet dayung.
Salah satu ajang utamanya adalah Piala Paman Birin, yang diselenggarakan di objek wisata Sungai Rangas, Martapura Barat. Pesertanya 128 tim dari berbagai daerah, dibagi dalam Grup A dan B.
Setiap jukung menggunakan formasi B6, yaitu enam pendayung dalam satu perahu, dengan jarak tempuh sekitar 400 meter. Formatnya menggunakan sistem gugur, sehingga hanya tim tercepat yang melaju ke babak berikutnya.
Selain sebagai ajang olahraga, lomba ini juga menjadi sarana promosi wisata sungai dan penggerak ekonomi lokal. Masyarakat pesisir sungai turut meramaikan acara, sementara pelaku UMKM mendapat manfaat dari meningkatnya kunjungan dan penjualan.
Jukung Bagi Orang Banjar
Pertanyaan selanjutnya, mengapa memakai jukung? Ternyata jukung ini sangat dekat dengan masyarakat Banjar dalam penggunaan sehari-hari. Jukung telah digunakan sejak dahulu kala sebagai alat transportasi utama oleh masyarakat Kalimantan Selatan, terutama di wilayah yang dipenuhi sungai.
Dirangkum dari situs Pemko Banjarmasin dan Pemprov Kalsel, fungsi jukung sangat beragam, mulai dari mengangkut hasil pertanian, bepergian antar kampung, hingga menunjang aktivitas harian seperti berdagang dan mencari ikan. Karena kondisi geografis yang didominasi perairan, jukung menjadi sarana mobilitas yang paling praktis dan melekat erat dalam kehidupan masyarakat pesisir sungai.
Hingga kini, jukung masih digunakan secara aktif, salah satunya di pasar terapung Lok Baintan yang menjadi ikon budaya dan wisata Banjarmasin. Di pasar ini, para pedagang menggunakan jukung untuk menjual hasil bumi langsung dari atas perahu, mempertahankan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun.
(bai/sun)