Sejumlah pemuda yang tergabung dalam Komunitas Sekolah Rakyat Merdeka mengadakan diskusi dan nobar (nonton bareng) film 'Natama Jumpun' di Palangka Raya pada Jumat (8/8/2025). Kegiatan ini sekaligus memperingati Hari Masyarakat Sedunia setiap 9 Agustus.
Beberapa isu masyarakat adat di Kalimantan Tengah dibedah melalui film tersebut. Salah satunya adalah kondisi alam Kalimantan yang dulunya menjadi rumah nyaman bagi masyarakat adat.
Dida Pramida perempuan asal Kabupaten Barito Timur, sebagai salah satu pemantik dalam diskusi tersebut, ia mengkonfirmasi bagaimana kondisi hutan di daerah rumahnya yang saat ini banyak ditanami sawit dan industri batu bara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Aku sebagai perempuan asli dari Barito Timur menyaksikan dan merasakan sendiri bagaimana kondisi Barito Timur saat ini. Kini daerah Barito Timur banyak yang sudah dikepung oleh perusahaan-perusahaan sawit dan perusahaan tambang," ujarnya pada detikKalimantan, Sabtu (9/8/2025).
Dida menggambarkan bagaimana perbedaan kondisi alam di sekitar rumahnya semasa kecil dengan kondisi alam saat ini. Ia mengenang, dirinya dahulu bisa dengan mudah memetik buah-buahan dan tumbuhan apapun langsung dari hutan.
"Dulu waktu kecil aku masih bisa menghirup udara yang segar dirumah, masih bisa memetik apapun sumber daya alam di sekitar rumahku," terangnya.
Dida juga menyampaikan bagaimana posisi dilematik warga Barito Timur, termasuk masyarakat adat di wilayah tersebut. Ia menceritakan, warga di sana kini telah menggantungkan sebagian mata pencaharian hidupnya pada perusahaan-perusahaan sawit. Di sisi lain, industri ekstraktif tersebut telah menghilangkan banyak hutan sebagai sumber daya alam warga Barito Timur.
"Ini menjadi posisi yang sulit bagi kita, ketika hutan banyak dibabat dan semakin menipis, masyarakat kita tidak memiliki pilihan selain menjadi buruh sawit di sana," ungkap Dida resah.
"Kita juga harus memahami bahwa masyarakat adat itu sangat dekat kehidupan di hutan," imbuhnya.
Soroti RUU Masyarakat Adat
Priska Marlina dari lembaga Progress Kalteng yang juga pemantik dalam diskusi film tersebut, ia memaparkan bahwa masyarakat adat merupakan sekumpulan kelompok masyarakat yang telah mendiami suatu wilayah secara turun temurun.
"Masyarakat adat merupakan sekumpulan masyarakat yang telah mendiami wilayah secara turun temurun tanpa putus. Mereka memiliki kedaulatan atas tanah dan SDA, serta hukum dan lembaga adat untuk mengatur kehidupan bermasyarakatnya," ujar Priska.
Priska juga menerangkan bahwa persoalan masyarakat adat saat ini adalah upaya agar pemerintah dapat segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat. RUU tersebut dinilai penting untuk melindungi hak-hak masyarakat adat.
"Secara maksimum, mendesak pengakuan terhadap wilayah adat dan perlindungan hak-hak masyarakat adat. Secara minimum, dikeluarkan perda di setiap daerah untuk pengakuan masyarakat adat," tegas Priska.
Sinopsis Film Natama Jumpun
Film berjudul 'Natama Jumpun' diproduseri oleh Muhammad Fathur Razaq, seorang jurnalis media nasional di Kalimantan Tengah. 'Natama Jumpun' dalam bahasa Dayak yakni bermakna menyembuhkan hutan. Natama Jumpun menjadi upaya semangat dalam memelihara kelestarian hutan.
Film 'Natama Jumpun' mengisahkan sosok tokoh perempuan adat dari suku Dayak Maanyan yang telah menjaga hutan di wilayah Barito Timur, Kalimantan Tengah. Perempuan tersebut bernama Mardiana Didana (67).
Mardiana Didana pernah di vonis kanker kepala dengan sisa harapan hidup hanya 6 bulan. Namun, ia tak menyerah dan mendedikasikan pada momen hidup tersebut untuk merawat alam dan melestarikan hutan di wilayah Barito Timur.
Dikisahkan dalam film tersebut, Mardiana yang berlatar belakang sebagai seorang perawat sekaligus sebagai suku asli Dayak, ia memiliki banyak sekali pengetahuan tentang obat-obatan dari alam. Ia bersama perempuan adat lainnya juga telah menanam lebih dari 3000 bibit pohon demi melestarikan hutan di Barito Timur.
Mardiana juga diceritakan aktif menjaga kearifan lokal di kampung halamannya. Ia membina perempuan-perempuan di sana untuk membuat anyaman rotan sejak tahun 2007, dimana anyaman tersebut kemudian menjadi salah satu mata pencaharian perempuan adat di Barito Timur.
Penggalan kalimat Mardiana Didana dalam film Natama Jumpun, ia mengucapkan bahwa perempuan adat adalah penjaga alam.
"Perempuan adat adalah penjaga alam, pelestari alam, hutan dan lingkungan," tegas Mardiana.
(bai/bai)