Dosen Antropologi Universitas Indonesia, Rhino Ariefiansyah menyoroti program pemindahan masyarakat yang kerap dilakukan pemerintah, khususnya terkait dampaknya terhadap masyarakat adat seperti Dayak Punan.
Menurutnya, pemindahan tidak boleh hanya sekadar memindahkan fisik masyarakat, tetapi harus mempertimbangkan ruang hidup yang mencakup relasi manusia dengan lingkungan dan budaya mereka.
"Dari perspektif antropologi, tempat tinggal bukan hanya rumah, tetapi ruang hidup yang melibatkan hubungan manusia dengan manusia dan lingkungannya. Pemindahan tidak bisa dilakukan secara top-down, harus ada perencanaan matang dan pelibatan masyarakat secara bermakna," ujar Rhino, Selasa (13/5/2025).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Mengenal Dayak, Suku Terbesar di Kalimantan |
Rhino menekankan pentingnya prinsip Free Prior Informed Consent (FPIC), yaitu persetujuan awal tanpa paksaan dari masyarakat sebelum pemindahan dilakukan. Prinsip ini yang telah diratifikasi Indonesia dalam konvensi internasional, mengharuskan adanya kerelaan masyarakat dan keterlibatan aktif mereka dalam proses pengambilan keputusan.
"Pemindahan harus disetujui di awal, tanpa paksaan, dan sesuai kebutuhan masyarakat," tambahnya.
Selain FPIC, Rhino juga menyebut pentingnya Land Acquisition and Resettlement Action Plan, yaitu rencana akuisisi lahan dan pemindahan penduduk yang wajib diterapkan oleh pemerintah maupun swasta.
"Bukan sekadar memindahkan, tapi harus ada perencanaan yang memikirkan kebutuhan masyarakat. Sayangnya, sering kali proses ini terkesan dipaksakan, dianggap selesai dengan ganti rugi, padahal tidak sesederhana itu," kritiknya.
Kompleksitas Masalah Masyarakat Adat Dayak Punan
Rhino juga mengangkat isu kompleks yang dihadapi masyarakat adat Dayak Punan, khususnya terkait stigma dan marginalisasi. Menurutnya, masyarakat Punan sering kali berada di posisi terpinggir dalam rantai nilai perdagangan hasil hutan, meskipun mereka memiliki keahlian dalam mengelola sumber daya alam.
"Mereka paling sedikit mendapatkan manfaat dari hasil hutan karena akumulasi keuntungan ada di daerah pesisir yang punya jaringan perdagangan internasional," ungkapnya.
Faktor lain seperti sulitnya akses layanan kesehatan dan pendidikan di daerah terpencil juga memperburuk kondisi. "Puskesmas pembantu atau sekolah sering tidak berfungsi optimal. Ditambah lagi, stigma historis membuat mereka dianggap rendah dibandingkan kelompok etnis lain," jelas Rhino.
Dampak Proyek Pembangunan dan Ekstraksi Sumber Daya Alam
Menyikapi konflik akibat proyek pembangunan dan ekstraksi sumber daya alam, seperti penebangan dan pertambangan di wilayah masyarakat adat, Rhino menegaskan masyarakat adat sering tidak memiliki suara untuk menyampaikan dampak yang mereka rasakan.
"Program atau proyek pembangunan harus memikirkan dampaknya terhadap ruang hidup masyarakat. Mereka harus dilibatkan secara bermakna, bukan hanya diberi kompensasi," tegasnya.
Ia mencontohkan kasus di Sajepan Penang, di mana masyarakat Punan berjuang menjaga hutan mereka di tengah konflik dengan aktivitas pembalakan. "Mereka berteriak mempertahankan hutan, tapi suara mereka sering diabaikan," katanya.
Komitmen untuk Masyarakat Adat
Ketika ditanya soal komitmennya terhadap masyarakat adat, Rhino dengan rendah hati menyatakan bahwa ia masih terus belajar sambil berkontribusi.
"Saya sambil meneliti, mencari peluang agar penelitian saya bisa berkontribusi untuk kemajuan masyarakat Dayak Punan. Mungkin kontribusi saya belum besar, tapi lewat diskusi seperti ini, saya berharap ada pihak lain yang tergerak untuk berkolaborasi," ujarnya.
Rhino juga menegaskan pandangan antropologi bahwa semua kebudayaan memiliki nilai yang sama. "Masyarakat Punan punya kebudayaan, aspirasi, dan masa depan yang harus didengar, terlepas dari stigma yang melekat pada mereka," pungkasnya.
(sun/des)