Suara Nelayan hingga Komitmen Perusahaan soal PSN di Pulau Penebang

Suara Nelayan hingga Komitmen Perusahaan soal PSN di Pulau Penebang

Ocsya Ade CP - detikKalimantan
Senin, 03 Nov 2025 21:00 WIB
Penampakan aktivitas pembangunan smelter bauksit menjadi alumina dan alumunium oleh PT. Dharma Inti Bersama (Harita Group) di Pulau Penebang, Desa Pelapis, Kecamatan Kepulauan Karimata, Kayong Utara.
Pembangunan Smelter Bauksit menjadi Alumina/Foto: Ocsya Ade CP/detikKalimantan
Kayong Utara -

Pulau Penebang di Kayong Utara, Kalimantan Barat (Kalbar) menjadi pusat perhatian nasional. Sebab, sedang dibangun Proyek Strategis Nasional (PSN) di Kawasan Industri Pulau Penebang (KIPP).

Pulau Penebang berada di antara gugusan pulau di Kepulauan Karimata. Pulau ini memiliki tipologi daratan landai yang berbatasan langsung dengan pantai.

Sejak awal 2025, PSN smelter alumina mulai digarap. Proyek ini dikerjakan holding company PT Dharma Inti Bersama (DIB), anak perusahaan dari PT Duta Citra Jaya Makmur (Harita Group).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

PSN tersebut digadang-gadang menjadi bagian dari masa depan Kayong Utara yang lebih baik. Namun di balik gegap gempita investasi senilai Rp 52 triliun itu, ada cerita tentang penyempitan ruang kelola nelayan, gejolak sosial, hingga ekosistem yang berubah.

Bagi masyarakat sekitar, Pulau Penebang adalah bagian dari sistem ekologi dan ekonomi mereka. Pulau ini menyimpan keanekaragaman hayati, sekaligus menjadi sumber kehidupan bagi para nelayan.

"Pulau Penebang bagi kami penting. Di sana kami bisa mengambil pancang (kayu) untuk kelong (alat tangkap ikan tradisional), membuat rumah dan perahu. Lautnya, di sana kami bisa ngancau (tangkap ikan dengan cara dikepung). Tapi sekarang tidak lagi. Sudah rusak terumbu karangnya juga. Belum lagi reklamasi, ini membuat lokasi pencarian nelayan menyempit," kata Muhammad Liyas, salah seorang warga Pulau Pelapis, Kamis (25/9/2025).

Menurut Liyas, adanya PSN membuat sebagian nelayan beralih lokasi pencarian ikan. Ada juga nelayan yang pasrah dengan keadaan, tak pindah lokasi karena perahu bermesin mereka kecil.

"Di Penebang, nelayan bisa berlindung di balik pulau kalau ada angin badai. Sementara lokasi lain begitu lantang," jelasnya.

Pembukaan lahan menggunakan bahan peledak atau blasting juga berdampak pada masyarakat sekitar. Liyas mengklaim getarannya sampai ke rumah warga di Pulau Pelapis yang berjarak sekitar 11 kilometer dari Penebang.

"Kami sangat mendukung proyek ini. Tapi perusahaan juga harus melihat dampak yang terjadi. Hilangnya mata pencarian nelayan harus diganti," ujarnya.

Begitu juga dengan Diman (54), nelayan lainnya di Desa Pelapis. Jumat (26/9/2025), terlihat di pelantaran rumah panggung yang menghadap langsung ke laut, ada seorang perempuan menatap cemas jemuran ikan yang tak lagi melimpah. Ia adalah Rustina (50), istri Diman.

"Sudah sembilan bulan melaut, baru kali ini ada ikan," ujar Diman, sembari menunjuk tiga kantong kecil ikan teri.

Menurut Diman, dulu mencari ikan teri begitu mudah. Ia mengaku bisa membawa pulang puluhan kilogram dalam semalam, menghasilkan Rp 2 juta sampai Rp 3 juta per hari. Bahkan ia mampu menyekolahkan anak-anak mereka hingga tamat kuliah.

"Saya sejak usia 16 tahun sudah jadi nelayan, waktu itu bantu Bapak. Bahkan sampai sekarang masih jadi nelayan. Hasilnya bantu orang tua, kakak adik dan keluarga. Tapi pendapatan menurun. Sejak perusahaan masuk, baru kali ini dapat ikan, itu pun tak banyak," jelasnya.

Ia mengakui, ada dua musim bagi nelayan, angin barat atau selatan. Namun menurutnya cuaca bukan satu-satunya penyebab pendapatan nelayan menurun. Proyek pembangunan pengolahan biji bauksit menjadi alumina (smelter) di Pulau Penebang juga berdampak.

Penampakan aktivitas pembangunan smelter bauksit menjadi alumina dan alumunium oleh PT. Dharma Inti Bersama (Harita Group) di Pulau Penebang, Desa Pelapis, Kecamatan Kepulauan Karimata, Kayong Utara.Rustina (50), saat menjemur ikan teri hasil tangkapan suaminya, Diman (54) Foto: Ocsya Ade CP/detikKalimantan

Ruang kelola nelayan dinilai menyempit. Perusahaan diduga membatasi nelayan. Kapal patroli milik perusahaan akan menghalau setiap perahu yang mendekat ke Pulau Penebang.

"Ini tangkapan semalam. Setahun ini sejak perusahaan masuk, baru ini dapat ikan. Ikannya lari kena getaran bom (blasting)," timpal Rustina sambil menjemur teri hasil tangkapan.

Rustina mengatakan hampir setiap malam suaminya mencari ikan di perairan yang tak jauh dari tempat tinggalnya. Bermodalkan lampu dan jaring, Diman mencari peruntungan. Sesekali ia menemani suaminya saat mendatangi keramba apung milik mereka. Berharap ada ikan yang terperangkap di sana.

Setiap ikan yang dibawa pulang menjadi harapan baru bagi keluarganya. Ikan-ikan hasil tangkapan itu lalu dibersihkan, dijemur di bawah terik matahari. Setelah mengering, ikan-ikan tersebut dimasukkan ke wadah, lalu ditimbang.

Setelah terkumpul, ikan hasil tangkapan itu dijual ke penampung di desanya. Tak jarang ia juga membawanya ke kota, seperti di Sukadana, Ketapang, hingga Pontianak. Saat ini, khusus ikan teri dihargai Rp 60 hingga 80 ribu per kilogram.

Di hari yang sama, detikKalimantan mencoba melihat langsung proses pembangunan smelter di Penebang dengan diantar seorang nelayan, Sukardi. Dari Pulau Pelapis menuju Pulau Penebang jaraknya sekitar 6,5 kilometer.

"Tapi kita tidak bisa mendekat, Bang. Tidak diperbolehkan," kata Sukardi.

Sepanjang pelayaran Sukardi bercerita. Ia dulu bisa mendapatkan 1 hingga 2 ton ikan teri per minggu. Namun kini ia merasa kepayahan. Ikan yang didapatkan sudah tidak sebanding dengan modal yang dikeluarkan.

"Nelayan tak boleh lagi cari ikan di sana (Pulau Penebang),"katanya.

Penebang dulunya cuma pulau yang diselimuti vegetasi hijau pepohonan. Kini puluhan hingga ratusan ekskavator dan truk berukuran besar terlihat hilir mudik.

Pelanggaran dan Sanksi yang Sudah Dibayar

Dengan investasi senilai US$ 3,15 miliar, proyek ini menjadi salah satu dari 77 PSN di Indonesia, sesuai Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2025, tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029. Investasi raksasa itu sekaligus memosisikan smelter tersebut sebagai yang terbesar di Kalbar.

Dari total luas Pulau Penebang sekitar 2.205,1 hektare, PT DIB mengantongi Surat Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang yang dikeluarkan Bupati Kayong Utara pada 15 Juli 2024, untuk menggarap hampir 1.893,57 hektare.

Tak hanya itu, wilayah laut seluas 156 hektare juga menjadi bagian dari rencana ekspansi berdasarkan persetujuan dari Menteri Kelautan dan Perikanan, serta Menteri Investasi/Kepala BKPM, yang terbit pada 30 Januari 2025. Dukungan izin datang dari berbagai level, mulai dari bupati hingga menteri.

Namun ada pelanggaran administrasi yang dilakukan PT DIB, meski sanksi yang dijatuhkan telah diselesaikan. Salah satu pelanggarannya adalah aktivitas pembukaan lahan (land clearing) di luar batas izin Pemanfaatan Kayu Kegiatan Non Kehutanan (PKKNK).

Fakta ini tercantum dalam Berita Acara (BA) Pengawasan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Kalbar, bertanggal 11 April 2025. Dalam BA, ditemukan PT. DIB telah melakukan land clearing seluas 465 hektare, dengan kondisi eksisting di lokasi seluas 176 hektare.

Pembukaan hutan ini dilakukan dalam rentang waktu dua bulan (Februari hingga Maret 2025), sebelum izin PKKNK diterbitkan. Hal ini diperkuat dengan pantauan citra satelit pada 31 Maret 2025, yang menunjukkan PT DIB, selaku kontraktor penyedia lahan, area hunian, IPAL, dan terminal khusus (tersus), melakukan pembukaan lahan di luar batas izin PKKNK. Dokumen PKKNK baru diterbitkan pada 9 April 2025 oleh Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Kalbar.

Merujuk pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) No 64 tahun 2019, atas pelanggaran administrasi ini, PT DIB diwajibkan membayar Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) sebesar 10 kali lipat sebagai sanksi administrasi penataan hasil hutan. Peraturan Menteri ini mengatur tata cara pemanfaatan kayu atau pengenaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) atas pemanfaatan hasil hutan kayu pada kegiatan non-kehutanan.

PT DIB juga telah mengajukan addendum terhadap dokumen AMDAL yang sebelumnya telah diterbitkan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Kalbar pada 4 Februari 2025. Kepala DLHK Kalbar Adi Yani membenarkan adanya pelanggaran administrasi terkait aktivitas land clearing di luar izin PKKNK yang dilakukan PT DIB.

"Benar. Sekarang sedang berproses," kata Adi Yani saat ditemui pada Senin (13/10/2025).

Adi Yani menegaskan perusahaan diwajibkan membayar PSDH sebesar 10 kali lipat sebagai sanksi. Kewajiban perusahaan itu diatur dalam tata cara pemanfaatan kayu dan/atau Pengenaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) atau pemanfaatan hasil hutan kayu pada kegiatan non-kehutanan. Perhitungannya didasarkan pada luas izin dan potensi kayunya.

"Sudah dibayar. Nilainya cukup besar. Sekitar 4 miliaran Rupiah," timpal Kabid Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya (PKSDAE) DLHK Kalbar, sembari menunjukkan notifikasi pembayaran sanksi administrasi tersebut.

Terkait pengajuan addendum AMDAL, Adi Yani menjelaskan sebelum pelaksanaan kegiatan proyek, perusahaan wajib menyusun dokumen lingkungan, yang mana dokumen tersebut berfungsi untuk melihat sejauh mana luas dampak lingkungan yang akan terjadi. Dokumen tersebut kemudian diajukan ke Dinas Lingkungan Hidup untuk penerbitan persetujuan dokumen lingkungan yang telah disusun sebelumnya.

"Kita cek, dan jika sesuai, kita akan terbitkan," kata Adi Yani.

Dokumen AMDAL yang diterbitkan DLHK sebelumnya merupakan dokumen AMDAL kawasan. Namun demikian, perusahaan wajib menyusun dokumen AMDAL baru, jika akan membangun bangunan fisik.

"Jadi ada dua dokumen, yaitu dokumen kawasan, yang berfungsi melihat luas dampak. Setelah itu, jika akan membangun pabrik, PLTU, atau Tersus, perusahaan harus membuat dokumen baru lagi. Dokumen AMDAL khusus bangunan fisik," kata Adi Yani.

Adi Yani mengatakan proyek pembangunan smelter di Pulau Penebang ini merupakan PSN, yang izinnya harus melalui proses normatif hingga ke tingkat presiden. "Harus perlu kehati-hatian. Karena ini PSN, dan akan menjadi yang terbesar di Indonesia dengan potensi produksi 6 juta ton per tahun," kata Adi yani.

Komitmen PT DIB

Sementara itu, Seno Ario Wibowo, External Relation Manager PT DIB mengatakan pihaknya telah memahami berbagai dinamika sosial, ekonomi, dan lingkungan yang muncul seiring rencana pembangunan PSN di Pulau Penebang.

"Sejak awal, kami berkomitmen menjalankan seluruh proses secara bertanggung jawab, transparan, dan sesuai regulasi, dengan mengedepankan dialog serta pemberdayaan masyarakat lokal," kata Seno.

Menurut Seno, pihaknya juga melakukan kolaborasi dengan pemerintah dan masyarakat, untuk terus memastikan agar setiap langkah pembangunan membawa manfaat nyata bagi lingkungan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar.




(sun/des)
Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads