Negosiasi pembebasan lahan untuk Proyek Strategis Nasional (PSN) Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Mentarang Induk di Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara (Kaltara) menemui jalan buntu.
Masyarakat adat ahli waris menolak keras tawaran ganti rugi dari konsorsium, PT Kayan Hydropower Nusantara (KHN), yang nilainya dianggap tidak manusiawi. Ruang hidup yang akan ditenggelamkan kabarnya hanya ditawar Rp 350 per meter persegi oleh perusahaan.
Ketua Organisasi Barisan Pemuda Penjaga Hutan Adat Malinau - Nunukan, Tomy Abia, mengungkapkan kebuntuan itu telah berlangsung lebih dari satu tahun. Pihak masyarakat adat telah beberapa kali menurunkan tawaran harga demi mencapai kesepakatan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kita sudah mengajukan tawaran Rp 170.000 per meter persegi tapi tidak disanggupi, lalu kita turunkan lagi di Rp 50 ribu mereka tidak mampu," ujar Tomy Abia kepada detikKalimantan, Sabtu (25/10/2025).
Menurut Tomy, masyarakat kini bertahan di angka Rp 100.000 per meter persegi. Namun, tawaran balasan dari perusahaan sangat jauh dari harapan.
"Masyarakat tetap mengacu kepada tawaran yang Rp 100 ribu per meter persegi, tapi perusahaan menawarkan di angka Rp 350 per meter persegi. Ini bagai langit dan bumi ya harganya," tegas Tomy.
Alasan Rendahnya Tawaran Perusahaan
Tomy membeberkan pangkal masalah dari kebuntuan dalam diskusi ganti rugi ini. Menurutnya, ada dua alasan utama dari rendahnya tawaran perusahaan. Pertama, perusahaan mengacu pada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang sangat rendah.
"Alasannya adalah satu. NJOP Kecamatan M. Hulu 350 Rupiah," kata Tomy.
Yang kedua yang paling diperdebatkan, pihak KHN menganggap lahan yang akan ditenggelamkan bukan merupakan wilayah hukum adat. "Pihak konsorsium ini utamanya pihak KHN menganggap itu bukan wilayah adat, karena wilayah itu masuk dalam kawasan lindung. (Alasan mereka) wilayah genangan masuk dalam kawasan sehingga KHN tidak berkewajiban untuk membayar wilayah yang terdampak genangan." paparnya.
Tomy membantah keras klaim itu. Ia menegaskan bahwa penetapan kawasan lindung itu dilakukan oleh pemerintah pusat tanpa pernah berkoordinasi dengan masyarakat adat, yang telah menghuni dan memiliki hak ulayat atas wilayah tersebut.
"Jauh sebelum bangsa Indonesia mendeklarasikan diri, masyarakat adat sudah menghubungi di situ," tegasnya.
Tomy tidak hanya mengeluhkan soal harga, tetapi juga cara komunikasi pihak KHN. Ia menyayangkan perusahaan sebesar KHN tidak pernah membalas surat resmi dari ahli waris secara tertulis. Jawaban selalu disampaikan secara lisan atau 'titip omong' melalui fasilitator, yakni Pemda atau Ketua Adat.
"Ini menurut saya sangat lucu sebagai perusahaan yang besar. Mestinya mereka membalas surat masyarakat adat dengan membuat surat resmi juga. Ini anehnya, hanya sebatas ucapan," sesalnya.
Ia juga menyebut adanya tawaran lain di angka Rp 9.000 per meter persegi, namun tawaran itu juga ditolak mentah-mentah oleh warga. Tomy menegaskan, pihaknya tidak berniat menggagalkan PSN. Namun, mereka menuntut adanya penghargaan dan ganti rugi yang layak atas hilangnya seluruh ruang hidup mereka yang akan ditenggelamkan.
"Apakah ada jaminan di kemudian hari ketika PLTA ini dibangun masyarakat akan sejahtera? Karena ini benar-benar menenggelamkan ruang hidup masyarakat adat," tanyanya.
Para ahli waris, lanjut Tomy, akan menggelar pertemuan internal pada hari Minggu (26/10) untuk menentukan sikap. Jika buntu, ia mengisyaratkan kemungkinan adanya aksi demo atau meminta pemerintah daerah turun tangan.
Proses Negosiasi Masih Berlangsung
Saat dikonfirmasi, KHN Public Affairs Manager, Dumaria Panjaitan, mengatakan proses negosiasi memang masih berlangsung. "Proses memang masih berlangsung. Saat ini proses negosiasi masih berlangsung oleh tim LARAP (Land Acquisition and Resettlement Action Plan) kami," ujar Dumaria kepada detikKalimantan.
LARAP, jelasnya, adalah rencana rinci tentang proses pengadaan lahan, permukiman kembali, serta mitigasi dan kompensasi bagi penduduk terdampak. "Jadi kita kasih waktu agar proses bisa difinalkan. Bila ada perkembangan lebih lanjut, nanti akan kami infokan," pungkasnya.
Sebagai informasi, PLTA Mentarang Induk merupakan proyek raksasa yang groundbreaking-nya telah dilakukan oleh Presiden ketujuh RI Joko Widodo (Jokowi). Proyek ini diperkirakan menelan anggaran USD 2,6 miliar atau sekitar Rp 40 triliun untuk mengalirkan listrik ke Kawasan Industri Hijau (KIPI) di Bulungan.
(sun/aau)
