Fenomena Sarjana RI Jadi ART-Satpam, Ini Penyebabnya

Fenomena Sarjana RI Jadi ART-Satpam, Ini Penyebabnya

Ignacio Geordi Oswaldo - detikKalimantan
Rabu, 25 Jun 2025 15:01 WIB
Sejumlah pencari kerja antre untuk mengikuti Pameran Bursa Kerja di Gedung Tegar Beriman , Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis (3/10/2024). Pemerintah Kabupaten Bogor bersama Dinas Tenaga Kerja dan stakeholder terkait berupaya menekan angka pengangguran dengan mengadakan Job Fair 2024, dan melibatkan 40 perusahaan serta Balai Pelayanan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) Jawa Barat yang menyediakan lebih dari dua ribu lowongan pekerjaan baik di dalam maupun di luar negeri. ANTARA FOTO/Yulius Satria WIjaya/Spt.
Ilustrasi Potret Pencari Kerja Serbu Job Fair. Foto: Antara Foto/Yulius Satria WIjaya
Jakarta -

Saat ini muncul fenomena para lulusan sarjana di Indonesia terpaksa bekerja sebagai asisten rumah tangga (ART), sopir, hingga satpam. Apa sih penyebabnya?

Tanpa bermaksud merendahkan pekerjaan, tentu profesi di atas bukanlah yang diharapkan para sarjana yang menempuh pendidikan bertahun-tahun. Hal ini menunjukkan kuliah bukan lagi patokan mendapatkan pekerjaan yang layak.

Ketua Ikatan SDM Profesional Indonesia (ISPI) Ivan Taufiza mengatakan fenomena ini sebetulnya bukan hal baru. Dia mengaku melihat langsung kasus serupa sejak awal berkarier pada 1995 lalu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Sebenarnya fenomena ini nggak baru di Indonesia. Jadi sejak saya pertama kerja tahun 1995, itu security saya S2. Serius nih, saya kerja di oil company itu security saya itu S2 lulusan sastra Inggris UGM," kata Ivan kepada detikcom.

Penyebab Sarjana Banting Setir

Ivan menjelaskan penyebab utama fenomena tersebut adalah ketimpangan antara supply dan demand di pasar tenaga kerja Indonesia. Tingginya jumlah angkatan kerja (supply) tidak dibarengi lapangan kerja yang cukup (demand).

"Akar permasalahan itu bukan di ijazahnya laku atau nggak. Karena supply sama demand yang nggak seimbang. Jadi banyak supply-nya daripada demand-nya. Ijazah itu dipakai, saya bilangnya buat memotong kandidat," papar Ivan.

"Tapi kalau di negara-negara yang supply sama demand kerjanya terbalik, jadi saya ambil yang ekstrim di Qatar gitu ya, itu permintaan tenaga kerjanya jauh lebih tinggi daripada supply-nya. Dia nggak pengaruh-pengaruh amat ijazah. Karena yang penting ada orang yang mau kerja, bisa kerja, selesai," sambungnya.

Selain itu, sekarang mulai banyak perusahaan, khususnya multinasional, yang tidak lagi melihat lulusan sarjana tertentu sebagai syarat utama untuk bekerja. Mereka cenderung mencari orang yang mampu bekerja dengan baik di bidang tertentu.

Dengan demikian, banyak pencari kerja yang bersaing menggunakan keahlian daripada gelar sarjananya. Bagi yang belum mendapatkan kesempatan bekerja di tempat yang tepat, mereka harus banting setir demi mencari nafkah.

"Bahkan perusahaan-perusahaan besar Fortune 500 itu sudah banyak sih yang dia nggak minta ijazah. Dia cuman butuh lulus tes saja jadi karyawan. Karena memang tadi bagi mereka yang penting fit dan bisa kerja," terangnya.

Apakah ijazah tidak lagi penting?

Ijazah Tak Lagi Penting?

Namun Ivan bukan menganggap ijazah kini tak lagi penting, sehingga tidak perlu kuliah.

"Saya nggak bilang ijazah akademis itu nggak penting, nggak. Tapi tadi, karena kondisi pasar yang tidak seimbang antara supply dengan demand tenaga kerja. Artinya kandidat perlu nilai tambah, nilai plus," tegas Ivan.

Alih-alih ijazah akademis, Ivan mengatakan saat ini banyak HRD lebih mencari kandidat yang memiliki 'ijazah' lain berupa sertifikasi keahlian tertentu. Sebab melalui sertifikasi tersebut para pemberi kerja dapat melihat bahwa kandidat memiliki kompetensi teknis di bidang-bidang pekerjaan yang sedang dicari.

"Sebaiknya memang dimulailah ambil tadi ijazah atau sertifikat yang teknis, yang spesialis. Jadi misal yang tadi saya bilang yang namanya sertifikat untuk robotik gitu ya, sertifikat untuk coding. Nah, itu tetap laku kalau yang itu," jelasnya.

Selengkapnya baca artikel detikFinance.

Hide Ads