Cahaya lampu sederhana menerangi seorang pria di bawah jembatan kawasan PDAM, Tarakan Barat. Di tengah hening malam Ramadan, pria berambut ikal itu tampak memindahkan pasir dari sungai ke tumpukan setinggi dadanya.
Gerakannya tenang namun pasti, seperti strategi yang telah dikuasai untuk menjaga stamina di tengah kerja kerasnya. Ia adalah Man (33), seorang penambang pasir sungai yang mewarisi profesi dari mendiang ayahnya. Pekerjaan yang dilakukan di waktu tak biasa, tengah malam hingga menjelang subuh, membuatnya menjadi bagian dari ritme tersembunyi Kota Tarakan.
"Kalau siang, terik matahari nda sanggup kita, panas," ujar Man sambil tersenyum ramah kepada detikKalimantan, Selasa (18/3/2024).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kesan tertutup yang awalnya melekat pada Man runtuh seketika saat ia berbagi cerita. Dalam sekali mendulang, ia mampu mengumpulkan 6 rit pasir senilai Rp 300 ribu.
Jika dirata-rata 3 rit per hari, pendapatannya mencapai Rp 9 juta sebulan, cukup untuk menghidupi enam orang termasuk istri, tiga anak, dan satu janin dalam kandungan. "Ini semua demi keluarga, terutama anak-anak," katanya sambil melempar pasir ke tumpukan.
Anak Jadi Motivasi Utama
Meski tak menamatkan SMA, Man adalah kepala keluarga visioner. Ia tak pernah memaksa anak-anaknya mengikuti jejaknya. Ia mendorong mereka mengejar pendidikan setinggi mungkin.
"Cukup saya saja, anak-anak jangan," tegasnya
Anak pertamanya duduk di kelas 5 SD, anak kedua di kelas 4. Kini ia tengah mempersiapkan biaya persalinan anak keempatnya dengan BPJS Kesehatan.
"Kita ndak minta-minta kalau sakit. Operasi, biaya pengobatan, pasti mahal," ucapnya bijaksana.
Meski pekerjaannya kerap dipandang sebelah mata, Man tak peduli. Baginya, tawa canda dan raut wajah ceria anak-anak adalah penggerak utama.
"Resep bahagia itu sederhana, lihat anak senyum saat saya pulang ke rumah. Itu nikmat luar biasa," tuturnya.
Melawan Hawa Dingin
Subuh tadi, suhu Tarakan mencapai 25 derajat Celsius. Hawa dingin tak lagi terasa oleh Man yang fokus mengumpulkan pundi-pundi rupiah.
"Semoga Idul Fitri kali ini keluarga kami dapat kesehatan dan rezeki," ujarnya penuh harap.
Di tengah kesibukannya, Man menunjukkan kepedulian sederhana. Ia selalu membersihkan tumpahan pasir di jalan aspal agar debu tak mengganggu pengguna jalan.
"Kasihan aja sama mereka," katanya.
Ia juga menyayangkan jika ada anak muda yang enggan bekerja keras. "Kalau malu kerja, kita ndak makan. Namanya mencari nafkah halal, apapun itu disyukuri," tegasnya.
![]() |
Sisi Lain Man
Pria berperawakan kekar ini mengaku memiliki hati yang lembut. Setiap hari, ia memberikan uang jajan Rp 5 ribu dan Rp 3 ribu untuk anak-anaknya.
"Saya ndak pernah kasar sama anak dan istri. Paling suara tinggi buat didik anak," katanya.
"Saya senang ada program Makan Bergizi Gratis. Uang jajan bisa ditabung. Tapi sampai sekarang, di Tarakan Barat belum terima," keluhnya.
Di bawah cahaya lampu sederhana, sekop di tangan Man menjadi simbol perjuangan. Dinginnya dini hari menjadi saksi ketabahan. Ia bukan sekadar penambang pasir, tapi seorang ayah yang mengorbankan segalanya demi keluarga.
Dari sungai, Man menggali lebih dari sekadar pasir. Ia menggali harapan untuk masa depan anak-anaknya.
(sun/des)