Seorang psikolog klinis bernama Lya Fahmi mengungkapkan kejadian tak biasa yang ia alami dalam pekerjaannya. Ia mengaku baru kali ini mendapatkan klien yang mengalami mental bukan karena masalah pribadi, melainkan karena situasi negara.
Mengutip detikHealth, cerita yang dibagikan Lya Fahmi di Instagramnya itu viral, mendapat respons dari 100 ribu pengguna lebih.
"Baru kali ini terjadi selama 7,5 tahun karierku sebagai psikolog, dua klien berturut-turut datang bukan karena masalah pribadi, tapi distress karena negara," tulis Lya, dikutip detikHealth atas izin yang bersangkutan pada Rabu (17/12/2025).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lya menjelaskan, dalam kajian kesehatan mental, isu struktural dan kebijakan negara ternyata memiliki kaitan erat dengan kondisi psikologis individu. Namun, sumber tekanan ini kerap tidak disadari oleh klien yang datang.
Belakangan, mulai muncul fenomena di mana klien dengan keluhan mental menyadari sumber tekanan mereka sebagai warga negara. Lya menyebut klien datang dalam kondisi emosional dan mengungkapkan rasa putus asa sebagai warga negara Indonesia (WNI). Salah satu kejadian pemicunya adalah bencana Sumatera.
"Kalau ngelihat cara pemerintah menangani korban bencana Sumatera, aku merasa seolah rakyat nggak ada harganya. Nggak didengarkan, diabaikan pula. Putus asa banget rasanya jadi WNI," kata Lya menirukan ucapan klien tersebut.
Pengakuan kliennya ini menyadarkan Lya bahwa masalah kekecewaan terhadap negara tidak hanya ramai di media sosial, tetapi juga terjadi di dunia nyata. Kali ini sampai ke ruang konseling psikologis.
"Aku kira narasi menderita sebagai WNI itu cuma di dunia maya, tapi ternyata sampai ke ruang konselingku juga," tulisnya.
Menariknya lagi, kata Lya, klien tersebut memberikan cokelat setelah sesi konseling. Menurut sang klien, cokelat itu untuk memperbaiki suasana hati psikolog yang juga WNI setelah mendengarkan keluh kesahnya kepada pemerintah. Lya mengakui emosinya juga ikut terkuras setelah mendampingi klien tersebut.
Cerita Lya ini mendapat berbagai respons positif dari pengguna Instagram. Banyak dari netizen mengaku juga merasakan hal yang sama, yakni rasa marah, lelah, dan putus asa akibat persoalan negara. Selain masalah negara, mereka juga mengeluhkan kebijakan publik yang dinilai tidak berpihak pada masyarakat.
Lya menegaskan fenomena ini menjadi tanda bahwa kesehatan mental tidak hanya persoalan individu. Kesehatan mental juga sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial politik.
Lalu apa yang harus dilakukan? Menurut Lya, permasalahan ini bersifat kolektif dan tidak dapat diselesaikan dengan pendekatan individual.
"Penderitaan kolektif harus ditangani secara kolektif juga. Kemarahan terhadap negara solusinya bukan curhat ke psikolog saja. Percuma, psikolognya sudah stres juga," ujarnya.
Orang-orang yang mengalami kelelahan emosional serupa membutuhkan ruang untuk saling bertemu dan terhubung, saling mendengarkan dan mengungkapkan isi hati. Dari situ, individu dapat menyadari bahwa mereka tidak sendirian mengalami tekanan mental ini sehingga akan terbentuk solidaritas.
"Solidaritas selalu efektif memberi kita rasa kekuatan," tulisnya.
Lya juga menyoroti perasaan tidak berdaya hingga putus asa terhadap kondisi sosial dan politik yang tidak ideal. Ia menegaskan bahwa perasaan tersebut sebaiknya tidak dibiarkan berkembang menjadi sikap meremehkan diri sendiri. Sebaliknya, individu diajak untuk dapat melakukan hal berarti sekalipun itu kecil.
"Buat kalian yang merasa kecil dan tidak berarti, jangan pernah meremehkan diri kalian sendiri. Semua suara itu penting, sekecil dan selirih apa pun. Cari teman di sekitar kalian. Jangan jalan sendiri. Jangan sakit hati sendiri," pesannya.
Baca selengkapnya di sini.
