15,9 Juta Anak Indonesia Tumbuh Tanpa Sosok Ayah, Ini Dampak Psikologisnya

Nasional

15,9 Juta Anak Indonesia Tumbuh Tanpa Sosok Ayah, Ini Dampak Psikologisnya

Nikita Rosa - detikKalimantan
Jumat, 17 Okt 2025 10:00 WIB
Loving father walking side by side with son holding hands.
Foto: Getty Images/iStockphoto/kieferpix
Samarinda -

Data Mikro Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik (Susenas BPS) Maret 2024 menunjukkan sebanyak 20,1 persen anak di Indonesia tumbuh tanpa sosok ayah atau fatherless. Persentase ini setara dengan 15,9 juta anak dari total 79,4 juta anak usia di bawah 18 tahun di Indonesia.

Dikutip dari detikEdu, fatherless dalam hal ini tidak selalu berarti anak tersebut tidak memiliki ayah. Situasi ketika ayah ada tetapi tidak hadir secara emosional dan tidak berperan aktif dalam keluarga juga dapat membuat seorang anak dikatakan fatherless.

Dari 15,9 juta anak fatherless tersebut, sebanyak 4,4 juta anak tinggal di keluarga tanpa ayah. Sisanya sebanyak 11,5 juta anak tetap tinggal bersama ayah, tetapi ayahnya memiliki jam kerja lebih dari 60 jam per minggu atau lebih dari 12 jam per hari sehingga jarang memiliki waktu untuk anak di rumah.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dampak Psikologis Anak Fatherless

Kondisi ini dapat berdampak serius bagi psikologis anak. Dekan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Dr. Rahmat Hidayat mengatakan ketidakhadiran figur ayah dalam keluarga berpengaruh signifikan terhadap perkembangan anak, meliputi aspek psikologis hingga aspek sosial.

"Banyak keluarga masa sekarang yang mengalami ketidakhadiran ayah karena faktor pekerjaan yang menuntut mobilitas tinggi. Namun, kehadiran ayah tetap dibutuhkan untuk mendukung perkembangan emosional dan sosial anak," paparnya dikutip dari laman UGM, Kamis (16/10/2025).

Menurut Rahmat, terdapat tiga proses utama pembelajaran dalam perjalanan tumbuh kembang seorang anak. Ketiganya yakni observasional, behavioral, dan kognitif. Proses ini membutuhkan peran ayah sebagai role model dalam mendukung perkembangan emosional.

Jika ayah tidak hadir secara emosional maupun fisik, maka anak akan kehilangan sosok model perilaku utama. Baik dalam pengendalian diri, kedisiplinan, interaksi sosial, serta sikap bertanggung jawab.

Karena itu, Rahmat menilai perlu adanya peran aktif pemerintah dalam mengatasi fenomena fatherless di Indonesia. Salah satunya melalui edukasi mengenai pendidikan pranikah pada calon pasangan agar siap menjalani tanggung jawab sebagai orangtua.

"Edukasi peran dalam menghadapi pernikahan harus menjadi bagian penting sebelum membangun komitmen berkeluarga, karena seringkali kita menganggap pernikahan sebagai hal alami, padahal itu dunia baru yang menuntut kesiapan psikologis dan pemahaman peran antara ayah dan ibu." jelasnya.

Rahmat juga menilai pemerintah juga perlu melakukan pemerataan lapangan pekerjaan pada daerah di luar Jawa. Menurutnya, ketidakhadiran ayah karena pekerjaan tersebut tidak dapat disalahkan sepenuhnya kepada individu atau keluarga. Hal ini mungkin terjadi karena adanya ketimpangan ekonomi dan kesempatan kerja.

Artikel ini telah tayang di detikEdu.




(des/des)
Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads