Sejarah Sarawak-Sabah Masuk Malaysia yang Mau Diganyang Sukarno

Sejarah Sarawak-Sabah Masuk Malaysia yang Mau Diganyang Sukarno

Bayu Ardi Isnanto - detikKalimantan
Sabtu, 06 Des 2025 11:00 WIB
Peta Pulau Kalimantan
Peta Borneo mencakup tiga negara. Foto: dok Google Maps
Balikpapan -

Pulau Borneo mencakup tiga negara, yaitu Indonesia (Kalimantan), Malaysia (Sarawak dan Sabah), dan Brunei Darussalam. Tahukah detikers bagaimana Sarawak dan Sabah menjadi bagian dari Malaysia, padahal wilayahnya justru menyatu dengan Indonesia?

Proses pembentukan negara Malaysia ini melalui jalan panjang dan kompleks sejak ratusan tahun lalu. Berikut adalah rangkuman sejarah bagaimana Sabah dan Sarawak bergabung dengan Malaysia, hingga Sukarno menyerukan Ganyang Malaysia.

Bermula dari Anglo-Dutch Treaty 1824

Jauh sebelum berdirinya Indonesia dan Malaysia, terdapat pembagian wilayah dunia oleh negara-negara Eropa. Setelah Perang Napoleon, Inggris dan Belanda bersaing memantapkan pengaruhnya di Asia Tenggara, yang menjadi pusat perdagangan komoditas berharga.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dikutip dari situs Historical Treaties of Southeast Asia, ketegangan tersebut melahirkan Anglo-Dutch Treaty 1824. Perjanjian ini lebih ditujukan untuk menata hubungan kedua negara kolonial daripada memperhatikan kepentingan lokal.

Negosiasi sempat terhambat oleh keberadaan pos dagang Inggris di Singapura, yang dianggap mengganggu ambisi Belanda di Selat Malaka. Akhirnya, perjanjian tersebut membagi Asia Tenggara melalui garis di Selat Malaka, menandai awal pembelahan politik di Borneo.

Isi perjanjian mencakup pembagian wilayah, pertukaran Bengkulu dengan Malaka, klausul non-intervensi, janji Belanda untuk tidak mencampuri Aceh, serta penghapusan monopoli perdagangan. Dampaknya sangat besar, yakni Borneo terpecah menjadi wilayah Belanda di selatan dan Inggris di utara, memutus jaringan budaya Melayu yang sebelumnya terhubung erat.

Pembelahan kolonial ini kemudian melahirkan tiga entitas politik berbeda di Borneo pada abad ke-20, yaitu Kalimantan di bawah Hindia-Belanda, Sabah dan Sarawak di bawah Inggris, serta Brunei yang mempertahankan kesultanannya.

Malaysia Merdeka Pada 1957

Sebelum nama 'Malaysia' lahir, wilayah semenanjung dikenal sebagai Persekutuan Tanah Melayu (Federation of Malaya). Perjuangan menuntut kemerdekaan dari Inggris memuncak pada tahun 1950-an.

Puncaknya pada 31 Agustus 1957, sebuah peristiwa bersejarah terjadi di Stadion Merdeka, Kuala Lumpur. Di hadapan ribuan rakyat, Tunku Abdul Rahman Putra, yang kemudian menjadi Perdana Menteri pertama, memproklamasikan kemerdekaan Persekutuan Tanah Melayu.

Momen ini menandai berakhirnya penjajahan Inggris di semenanjung dan lahirnya sebuah negara berdaulat yang menjadi inti dari pembentukan Malaysia di kemudian hari. Namun, saat itu wilayah Sabah, Sarawak, dan Singapura masih berstatus sebagai koloni Inggris.

Gagasan Penyatuan Federasi Malaysia

Dikutip dari situs Pustaka Ilmu: Arkib Negara Malaysia, gagasan awal pembentukan Federasi Malaysia dimulai pada 1961. Tujuannya untuk membawa Persekutuan Tanah Melayu, Singapura, Borneo Utara (Sabah), Brunei, dan Sarawak ke dalam satu bentuk kerja sama politik dan ekonomi.

Kerja sama ini dianggap perlu untuk menyekat pengaruh komunis yang semakin kentara yang dapat menggugat kestabilan politik di kawasan tersebut, terutama melihat perkembangan pengaruh golongan kiri di Singapura.

Selain itu, penggabungan ini bertujuan untuk mengimbangi jumlah penduduk, mempercepat kemerdekaan wilayah-wilayah tersebut, serta memajukan ekonomi.

Bergabungnya Sabah dan Sarawak

Secara geografis, penggabungan Sabah dan Sarawak bukanlah hal yang mustahil karena posisinya yang relatif dekat dan adanya kesamaan sejarah, karena sama-sama pernah berada di bawah pemerintahan Inggris. Hal ini menciptakan persamaan dalam struktur administrasi dan hukum.

Untuk memastikan keinginan rakyat di wilayah tersebut, dibentuklah Suruhanjaya Cobbold (Komisi Cobbold) pada 17 Januari 1962. Komisi ini bertugas meninjau pandangan penduduk di Sabah dan Sarawak mengenai gagasan Malaysia. Hasil survei menunjukkan dukungan yang kuat.

Sekitar 80 persen penduduk Sarawak dan Borneo Utara (Sabah) mendukung pembentukan Malaysia. PBB kemudian mengonfirmasi bahwa lebih dari 70 persen penduduk di kedua wilayah tersebut setuju dan mendukung penyatuan ini.

Berdasarkan persetujuan tersebut, Perjanjian Penubuhan Persekutuan Malaysia ditandatangani di London pada 9 Juli 1963 oleh wakil kerajaan Inggris, Persekutuan Tanah Melayu, Sabah, Sarawak, dan Singapura. Pada 16 September 1963, Sabah dan Sarawak secara resmi menjadi bagian dari negara baru bernama Malaysia, mengakhiri status mereka sebagai wilayah jajahan Ratu Inggris.

Singapura Berpisah

Singapura pada awalnya merupakan bagian inti dari rencana pembentukan Malaysia. Perwakilan Singapura terlibat aktif dalam Jawatankuasa Perundingan Perpaduan Malaysia sejak Juli 1961. Pada tanggal 16 September 1963, Singapura secara resmi ikut bergabung membentuk Malaysia bersama Sabah dan Sarawak.

Namun, kebersamaan ini tidak berlangsung selamanya. Kurang dari dua tahun setelah pembentukan Malaysia, tepatnya pada 9 Agustus 1965, Singapura berpisah dari Malaysia untuk membentuk republiknya sendiri.

Perpisahan ini terjadi akibat adanya perbedaan ideologi antara pemimpin Singapura dan pemerintah pusat Malaysia.

Posisi Brunei Darussalam

Brunei Darussalam pada awalnya juga termasuk dalam rencana besar Tunku Abdul Rahman. Dalam pidato tahun 1961, Tunku menegaskan perlunya kesepahaman dengan wilayah-wilayah termasuk Brunei.

Meskipun demikian, ketika perjanjian final ditandatangani pada Juli 1963, Brunei tidak termasuk dalam daftar penandatangan. Dokumen Pemasyhuran Malaysia yang dibacakan pada 16 September 1963 hanya menyebutkan penyatuan antara Persekutuan Tanah Melayu, Singapura, Sabah, dan Sarawak.

Beberapa faktor yang menyebabkan Brunei tidak bergabung antara lain sengketa pembagian hasil minyak yang dianggap merugikan bagi perekonomiannya, kekhawatiran politik di mana kesultanan ingin mempertahankan monarki absolut tanpa campur tangan federasi.

Selain itu terdapat pemberontakan Partai Rakyat Brunei pada 1962 yang semakin meneguhkan tekad untuk menjaga struktur kekuasaan sendiri. Akibatnya, Brunei tetap berada di bawah protektorat Inggris hingga akhirnya meraih kemerdekaan penuh pada 1984 dan berdiri sebagai negara berdaulat di Borneo.

Sempat Ditolak Sukarno

Sejak Federasi Malaysia digagas Tunku Abdul Rahman pada 1961, Presiden Sukarno menolak mentah-mentah. Gagasan tersebut juga ditentang oleh Filipina yang mengklaim Sabah sebagai bagian dari warisan Sultan Sulu.

Dikutip dari buku Sejarah Indonesia Kelas XII: Kehidupan Politik dan Ekonomi Bangsa Indonesia Masa Demokrasi Terpimpin dari Kemdikdasmen, Sukarno menilai federasi tersebut sebagai proyek neokolonialisme Inggris untuk mempertahankan pengaruhnya di Asia Tenggara.

Upaya meredakan ketegangan dilakukan melalui Konferensi Maphilindo di Manila pada Juli-Agustus 1963. Konferensi ini menghasilkan Deklarasi Manila, Persekutuan Manila, dan Komunike Bersama yang menekankan perlunya persetujuan rakyat Kalimantan Utara sebelum federasi dibentuk.

Namun, sebelum tim penyelidik PBB yang dipimpin Lawrence Michelmore menyelesaikan tugasnya, Federasi Malaysia diproklamasikan pada 16 September 1963. Indonesia menilai langkah ini sebagai pelanggaran terhadap Komunike Bersama Manila dan pelecehan terhadap PBB.

Atas langkah Malaysia itu, Presiden Sukarno menyerukan 'Ganyang Malaysia' lewat pidatonya. Aksi demonstrasi dilakukan di Jakarta menentang federasi dibalas dengan aksi besar di Kuala Lumpur, sehingga hubungan diplomatik Indonesia-Malaysia diputus pada 17 September 1963.

Ketegangan semakin meningkat ketika upaya diplomasi melalui pertemuan di Bangkok tidak menghasilkan kesepakatan, mendorong Presiden Sukarno mengeluarkan Dwi Komando Rakyat (Dwikora) pada 3 Mei 1964 untuk memperhebat ketahanan revolusi dan mendukung perjuangan rakyat di kawasan melawan Malaysia.

Konfrontasi berlanjut dengan pembentukan Komando Siaga di bawah Marsekal Madya Omar Dani, meski jalur diplomasi tetap dicoba melalui pertemuan puncak di Tokyo pada Juni 1964. Situasi semakin rumit ketika Malaysia dicalonkan sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB pada Januari 1965.

Indonesia menolak pencalonan tersebut, dan dalam pidato 31 Desember 1964, Presiden Soekarno menyatakan Indonesia keluar dari PBB. Keputusan ini menandai puncak ketegangan dalam kebijakan konfrontasi.

Namun peralihan ke Orde Baru membuat kebijakan Indonesia berubah. Presiden Soeharto lantas memperbaiki hubungan dengan Malaysia dan Indonesia kembali menjadi anggota PBB.

Halaman 4 dari 4
(bai/aau)
Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads