Nilai penting Pulau Borneo tidak hanya terletak pada kekayaan alamnya, melainkan juga kekayaan budaya dan manusia yang hidup di dalamnya. Sebelum menjadi 'rebutan' negara-negara Eropa, Pulau Borneo telah didiami oleh masyarakat asli selama ribuan tahun.
Salah satu bukti peradaban purba di Borneo adalah penemuan tulang manusia di Sarawak. Penelitian meyakini bahwa tulang tersebut tidak dikubur di masa modern, tetapi telah terpendam sejak zaman Pleistosen atau puluhan ribu tahun yang lalu.
Yuk kulik lebih jauh tentang sejarah peradaban di Borneo ini, dikutip detikKalimantan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Manusia dan Peradaban Borneo
Dalam beberapa literatur seperti contohnya yang disebutkan oleh Darmadi (2016) berjudul Dayak: Asal-usul dan Penyebarannya di Bumi Borneo dan buku Sejarah Kebudayaan Kalimantan terbitan Kemendikbud (1994), Pulau Borneo didiami berbagai kelompok etnis dengan sejarah dan budaya yang kaya. Masyarakat Dayak adalah penduduk asli pedalaman, sementara etnis Melayu berkembang terutama di pesisir.
Sementara pedagang Tionghoa sudah hadir sejak ratusan tahun lalu, membentuk komunitas Cina peranakan yang kuat dalam perdagangan. Etnis ini bisa ditemui terutama di Kalimantan Barat dan daerah Serawak.
Dulunya sungai yang luas dan dalam menjadi penghubung utama berbagai suku, sehingga kehidupan berpusat di bantaran sungai, dari pasar terapung hingga rumah panjang khas Kalimantan.
Meski banyak area Borneo memiliki tanah yang kurang subur untuk pertanian, pulau ini menyimpan kekayaan luar biasa di bawah permukaannya. Minyak dan gas menjadi komoditas utama di Brunei, Sabah, Sarawak, dan Kalimantan Timur. Di bagian lain pulau, terdapat cadangan batu bara, bauksit, emas, dan tembaga.
Namun, eksploitasi besar-besaran, terutama sejak 1970-an, membawa tantangan serius berupa deforestasi, kebakaran lahan gambut, hilangnya habitat satwa, hingga maraknya illegal logging dan illegal fishing.
Jejak dan Bukti Peradaban Kuno Borneo
Sejarah manusia di Borneo terbukti sangat tua, dibuktikan dengan temuan arkeologis di Gua Niah, Sarawak, berupa tulang manusia, alat batu, dan lukisan gua.
Selain itu, dalam publikasi berjudul The 'human revolution' in lowland tropical Southeast Asia: the antiquity and behavior of anatomically modern humans at Niah Cave (Sarawak, Borneo) yang dilakukan oleh Graeme Barker dkk. (2006), disebutkan penemuan tengkorak manusia modern yang dikenal sebagai "Deep Skull" yang ada di mulut barat gua Niah Cave. Menurut peneliti, tengkorak itu bukanlah artefak dari penguburan manusia modern, melainkan benar berasal dari sedimen Pleistosen awal di lokasi tersebut.
Penemuan tengkorak di Niah Cave yang diyakini berasal dari puluhan ribu tahun lalu. Foto: Dok. Graeme Barker |
Melalui penanggalan ulang (AMS-dating & U-series) serta analisis stratigrafi, tim peneliti mengaitkan temuan manusia itu dengan jejak aktivitas manusia purba di Niah, pada rentang waktu sekitar 46.000 sampai 34.000 tahun yang lalu.
Studi ini juga mengungkap bahwa manusia purba tersebut telah mengembangkan strategi bertahan hidup yang adaptif terhadap lingkungan tropis termasuk berburu sesuai habitat, mengumpulkan dan mengolah bahan makanan (termasuk tumbuhan beracun yang harus diproses dulu), serta kemungkinan menggunakan api di tepi hutan.
Dengan demikian, temuan di Niah Cave menunjukkan bahwa manusia purba zaman itu sudah memiliki perilaku yang kompleks dan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan tropis sejak ribuan tahun lalu.
Bertahun-tahun kemudian, pulau ini terhubung dalam jaringan perdagangan kuno sejak abad ke-2 dan ke-3 Masehi, sebagaimana terlihat dari manik-manik Romawi dan artefak Hindu-Jawa yang ditemukan di Kalimantan Barat dan Timur. Kerajaan Hindu Kutai pun menjadi bukti tertua berdirinya kerajaan bercorak India di Indonesia.
Dalam perkembangan berikutnya, Islam datang dan membentuk kerajaan-kerajaan seperti Banjarmasin, Sambas, Sukadana, dan Landak, sementara Majapahit sempat memiliki pengaruh kuat di beberapa wilayah. Pada abad ke-16, datanglah Portugis dan Spanyol, disusul Belanda dan Inggris yang memecah pengaruh kerajaan-kerajaan lokal. Inggris kemudian membentuk koloni di Sabah dan Sarawak, sementara Belanda menguasai Kalimantan. Pembagian kolonial inilah yang menjadi dasar terpisahnya wilayah Borneo saat ini.
Setelah Perang Dunia II, pergerakan kemerdekaan berkembang cepat. Sarawak dan Sabah bergabung ke dalam Malaysia pada 1963, memicu konfrontasi Indonesia-Malaysia yang berlangsung hingga 1966. Brunei menolak bergabung dan memilih tetap menjadi protektorat Inggris hingga meraih kemerdekaan penuh pada 1984.
Indonesia sendiri mengintegrasikan seluruh Kalimantan ke dalam republik pada 1950. Sejak itu hingga kini, Borneo tetap menjadi salah satu kawasan memiliki keanekaragaman secara budaya dan juga ekologis di Asia Tenggara.
(des/des)

