Oevaang Oeray: Tokoh Dayak, Guru hingga Gubernur Kalbar

Oevaang Oeray: Tokoh Dayak, Guru hingga Gubernur Kalbar

Bayu Ardi Isnanto - detikKalimantan
Selasa, 25 Nov 2025 22:00 WIB
Oevaang Oeray.
Oevaang Oeray. Foto: Istimewa
Pontianak -

Johanes Chrisostomus Oevaang Oeray merupakan tokoh Dayak yang memiliki peran penting dalam perjuangan kesejahteraan masyarakat Kalimantan. Dia berjuang terutama melalui pendidikan dan jalur politik.

Oevaang Oeray juga dikenal sebagai Sukarnois yang membuatnya berada di puncak karier di era Orde Lama. Dalam artikel ini akan kita ulas sosok Oevaang Oeray yang merupakan tokoh Dayak, guru, politisi, kepala daerah, hingga akhir hayatnya.

Kehidupan Awal Oevang Oeray

JC Oevaang Oeray lahir di Kedamin, Kapuas Hulu, pada 18 Agustus 1922. Ia berasal dari keluarga petani sederhana dan merupakan anak keempat dari empat bersaudara.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

M Rikaz Prabowo dalam Jurnal Swadesi, Volume I Nomor 1 Tahun 2020 menjelaskan Oeray sejak kecil terbiasa membantu orang tuanya bertani, namun ia juga menempuh pendidikan formal.

Pendidikan dasarnya ditempuh di Volkschool (Sekolah Rakyat). Setelah lulus, ia melanjutkan ke Seminari Katolik Nyarumkop, Singkawang, selama enam tahun. Kemudian ia melanjutkan ke Sekolah Seminari Pastor, tingkat yang lebih tinggi.

Pendidikan seminari ini bukan hanya membentuk intelektualitasnya, tetapi juga menumbuhkan kesadaran sosial-politik. Sejak masa sekolah, ia mulai memikirkan nasib masyarakat Dayak yang tertinggal dan terpinggirkan.

Guru dan Tokoh Pendidikan

Dalam buku Para Penjaga Terakhir Bung Karno oleh Ozi D Prabaswara, Oeray bekerja sebagai guru di kampungnya setelah lulus sekolah. Kemudian, ia diangkat menjadi pegawai negeri di masa Belanda. Pekerjaan ini terus dilakukannya sampai Jepang datang ke Kalimantan Barat.

la lantas menikahi Bernadetha Boea, seorang gadis dari desanya sendiri. Mereka beberapa kali pindah tempat tinggal karena berbagai tugas yang diembannya.

Dalam perjalanannya, Oeray ingin memperbaiki nasib masyarakat Dayak yang hidup dalam keterbelakangan dan diskriminasi. Meski beruntung bisa mengenyam pendidikan, Oeray juga merasakan diskriminasi karena hanya boleh masuk ke sekolah gereja Katolik.

Pada 1941, Oeray menulis sebuah surat kepada guru-guru Katolik yang sedang retret di Sanggau. Surat itu berisi ajakan agar para guru memikirkan perbaikan nasib masyarakat Dayak.

Surat ini menjadi titik balik karena melahirkan tekad kolektif untuk membentuk organisasi politik Dayak. Namun di sisi lain, Oeray harus menanggung konsekuensi dikeluarkan dari Seminari Pastor karena dianggap membawa isu politik ke ranah gereja.

Mendirikan Organisasi Politik Dayak

Setelah Indonesia merdeka, gagasan Oevaang Oeray untuk memperjuangkan masyarakat Dayak mulai terwujud. Pada 3 November 1945, lahirlah organisasi Dayak in Action (DIA) di Putussibau, hasil pertemuan para guru dan tokoh Dayak.

Ketua pertamanya adalah FC Palaunsuka, seorang guru Katolik. DIA menjadi wadah awal kebangkitan politik Dayak. Tak lama kemudian, Oeray dipercaya memimpin Dayak Affairs Office (DAO) pada Januari 1946, lembaga resmi yang memberi kesempatan orang Dayak ikut dalam pemerintahan.

Pada 1 Oktober 1946, DIA berubah menjadi Partai Persatuan Dayak (PPD). Oeray menjadi tokoh penting dalam kepemimpinan partai bersama Palaunsuka dan Marinus Andjioe.

PPD lahir dengan tujuan jelas, yaitu meningkatkan harga diri orang Dayak, menghapus diskriminasi dalam birokrasi, menghapus pajak khusus yang membebani masyarakat Dayak, serta memperjuangkan kebebasan politik. Sejak 1 Januari 1947, Oeray memimpin Dewan Pimpinan Pusat PPD di Pontianak.

Menjadi Bupati hingga Gubernur

Pada 1947, Belanda membentuk Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) yang dipimpin Sultan Hamid II, dan Oevaang Oeray bersama tokoh PPD lain ikut dalam Badan Pemerintah Harian.

Meski sempat dianggap dekat dengan Belanda, arah politik Oeray berubah setelah Sultan Hamid ditangkap pada 1950. Sejak itu PPD mendukung negara kesatuan RI, sementara Oeray sendiri diangkat menjadi Bupati Kapuas Hulu, yang menandai pergeseran penting dalam kiprahnya.

Di bawah kepemimpinan Oeray, PPD semakin kuat dengan konsolidasi, kongres, kaderisasi, dan kampanye hingga pelosok desa. Hasilnya, pada Pemilu 1955 PPD meraih suara besar, hingga Oeray duduk sebagai wakil di tingkat nasional.

Kemenangan berlanjut di Pemilu Lokal 1958, dan lewat dukungan PNI serta PKI, Oeray terpilih sebagai Gubernur Kalimantan Barat pada 1959. Ia mulai menjabat 1 Januari 1960, tercatat sebagai tokoh Dayak pertama yang menduduki jabatan gubernur di provinsi tersebut.

Peran Oevaang Oeray di FKIP Untan

Sebagai gubernur, peran Oeray dalam bidang pendidikan masih terasa. Dikutip dari situs FKIP Universitas Tanjungpura (Untan), Gubernur Oevaang Oeray melihat kebutuhan guru di Kalbar sangat mendesak, sementara mendatangkan tenaga pengajar dari Jawa menimbulkan berbagai kendala.

Oeray melihat bahwa solusi terbaik adalah mendirikan lembaga pendidikan guru di Pontianak agar putra-putri daerah bisa melanjutkan studi tanpa harus keluar Kalimantan. Lewat SK No. 83/Sek-TU/64 tanggal 25 November 1964, dia menetapkan berdirinya IKIP Swasta Pontianak, cikal bakal FKIP Untan.

Langkah visioner Oeray membuka jalan bagi transformasi kampus keguruan di Kalbar. IKIP Swasta kemudian berkembang menjadi IKIP Bandung Cabang Pontianak (1965) dan akhirnya diintegrasikan ke Universitas Tanjungpura (1969) sebagai FKIP.

Akhir Hayat Oevaang Oeray

Masa kepemimpinan Oevaang Oeray sebagai Gubernur Kalimantan Barat (1960-1966) berlangsung di tengah gejolak besar sejarah Indonesia. Ia berada di garis depan Konfrontasi dengan Malaysia, mendukung penuh kebijakan "Ganyang Malaysia" dengan memobilisasi sukarelawan Dayak dan memfasilitasi operasi militer di perbatasan.

Namun, peristiwa G30S 1965 mengubah peta politik nasional. Kedekatannya dengan Soekarno dan afiliasinya dengan sayap kiri PNI membuat Oeray dituduh simpatisan komunis, meski ia seorang Katolik yang menolak ateisme.

Tuduhan ini dimanfaatkan lawan politik lokal, hingga akhirnya pada 12 Juli 1966 ia diberhentikan dari jabatan gubernur dan digantikan oleh militer, menandai berakhirnya kepemimpinan sipil di Kalimantan Barat.

Setelah masa isolasi politik, Oeray kembali ke panggung nasional melalui Golkar pada 1977 dan terpilih menjadi anggota DPR RI periode 1977-1982. Langkah ini dipandang sebagian orang sebagai kompromi, namun juga bisa dilihat sebagai cara realistis untuk tetap memperjuangkan aspirasi Kalimantan Barat di era Orde Baru.

Ia wafat pada 17 Juli 1986 di Pontianak dalam usia 63 tahun. Namanya sempat diusulkan untuk diangkat sebagai pahlawan nasional, namun hingga kini belum disetujui presiden.

Halaman 4 dari 3
(bai/bai)
Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads