Kalimantan dikenal sebagai tanah yang kaya akan sumber daya alam, sekaligus rumah bagi suku-suku Dayak yang sejak dulu memegang teguh adat menjaga kelestarian. Di balik keindahannya, pulau ini juga menyimpan kisah heroik seorang perempuan pemberani bernama Bulan Jihad atau Wulan Jihad, sosok yang bukan hanya dikenal sebagai 'pendekar' alam, tetapi juga pejuang yang menentang penjajahan Belanda dan Jepang.
Selama ini, dalam sejarah Perang Banjar, mungkin tokoh yang paling sering disebut adalah Ratu Zaleha dan Pangeran Antasari. Tapi tahukah detikers, ada sosok lain yang tak kalah penting dalam kisah perjuangan rakyat Kalimantan? Dialah Bulan Jihad, figur perempuan yang namanya masih hidup dalam ingatan masyarakat pedalaman, meski jarang tertulis dalam buku-buku sejarah.
Namanya disegani hingga ke telinga lawan. Dikenal dengan sebutan Panglima Burung, Bulan Jihad disebut-sebut memiliki kesaktian luar biasa, keberanian yang tak tergoyahkan, dan hati yang selalu berpihak pada tanah kelahirannya. Ia berasal dari suku Dayak Kenyah di Kalimantan Timur dan merupakan sahabat seperjuangan Gusti Zaleha, putri dari Gusti Muhammad Seman yang merupakan pewaris semangat perjuangan Pangeran Antasari dalam Perang Banjar (1859-1906).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dikutip dari publikasi Ratu Zaleha 1905-1906: Peran Gender dan Perlawanan Terhadap Penjajah karya Mursalin (2023), serta dari laman Instagram resmi Kesultanan Banjar, inilah kisah Nyai kisah perlawanan Bulan Jihad dalam memperjuangkan kemerdekaan Banjar.
Bermula dari Alam yang Dirusak Penjajah
Sejak Belanda menjejakkan kaki di Kalimantan pada tahun 1663, eksploitasi terhadap alam dimulai secara besar-besaran. Tujuan utamanya memang monopoli dagang, namun cara-cara mereka yang merusak hutan dan tambang membuat masyarakat Dayak marah. Pembukaan tambang batubara Oranje Nassau di Pengaron (1849) menjadi titik awal perlawanan.
Pembabatan hutan, polusi udara, dan rusaknya sumber air akibat penambangan membuat masyarakat Banjar dan Dayak bangkit melawan. Di bawah pimpinan Pangeran Antasari, rakyat Kalimantan bersatu mempertahankan tanah leluhur mereka. Bukan hanya para lelaki, perempuan pun ikut berjuang. Salah satunya adalah Ilum, nama kecil dari Bulan Jihad, gadis Kenyah yang cantik berhati baja.
Bersama Ratu Zaleha, Memimpin Pasukan Dayak
Ketika Perang Banjar berkobar, Bulan Jihad tampil sebagai sosok pemersatu. Bersama Ratu Zaleha, ia menghimpun kekuatan dari berbagai suku Dayak, dari Kenyah, Ngaju, Kayan, Siang, Dusun, Bakumpai, Banjar, hingga Hulu Sungai. Mereka menolak tunduk kepada penjajah dan bertekad mempertahankan setiap jengkal tanah Kalimantan, bahkan dengan nyawa sebagai taruhannya.
Senjata andalannya adalah Mandau, pedang tradisional Dayak yang terkenal tajam dan sakti. Dalam banyak pertempuran, Mandau miliknya berkilat di tengah asap, menebas barisan pasukan Belanda yang menduduki tanah mereka. Tak hanya dengan kekuatan fisik, Bulan Jihad juga memiliki kemampuan spiritual dan dikenal mampu mengendalikan kekuatan alam, sebab itu pula ia dijuluki Panglima Burung, pelindung hutan dan pemersatu suku-suku Dayak.
Di balik pertempurannya, Bulan Jihad tidak pernah melupakan tugas utamanya untuk menjaga alam Kalimantan. Ia menolak perusakan hutan dan mengajarkan masyarakat untuk kembali menanam di lahan yang rusak akibat tambang. Salah satu kisah yang banyak dituturkan adalah bagaimana ia menanami kembali area bekas tambang batubara Oranje Nassau setelah pertempuran besar melawan Belanda.
Bulan Jihad percaya bahwa melindungi alam adalah bentuk tertinggi dari perjuangan. Bagi rakyat Dayak, hutan bukan hanya sumber kehidupan, tetapi juga tempat bersemayamnya roh leluhur. Karena itu, membiarkan penjajah merusak hutan sama saja dengan menghina warisan nenek moyang.
Tidak Pernah Tertangkap, Ditakuti Belanda dan Jepang
Meski banyak rekannya tertangkap, Bulan Jihad tidak pernah menyerah. Setelah gugurnya Gusti Muhammad Seman pada 1905, ia tetap melanjutkan perjuangan bersama pasukan Dayak yang setia mendampinginya. Serangan demi serangan yang ia lancarkan membuat pos-pos Belanda kewalahan. Ia tak pernah tertangkap hingga akhir hayatnya.
Ketika Jepang datang ke Kalimantan pada masa Perang Dunia II, mereka pun memilih untuk tidak mengusik wilayah pedalaman. Tentara Jepang tahu, melawan Bulan Jihad adalah tindakan sia-sia. Sosoknya terlalu disegani dan dipercaya memiliki kekuatan gaib yang melindungi hutan Kalimantan.
Akhir Perjalanan Sang Panglima Burung
Pada 11 Januari 1954, setelah hampir setengah abad berjuang di pedalaman, Bulan Jihad turun gunung. Ia ingin mencari kabar tentang sahabatnya, Ratu Zaleha. Saat itulah ia mengetahui bahwa tanah air yang diperjuangkannya telah merdeka. Catatan terakhir menyebutkan, ia sempat terlihat di Pemerintahan Muara Joloi, sebelum kembali ke hutan untuk selama-lamanya.
Sejak saat itu, tak ada lagi yang melihatnya. Namun legenda Bulan Jihad, Sang Panglima Burung terus hidup dalam ingatan rakyat Kalimantan. Dirinya adalah simbol perempuan Dayak yang berani, tangguh, dan penuh kasih pada alam.
Itulah dia cerita perjuangan Bulan Jihad yang penuh tantangan dan tumpah darah. Semoga bermanfaat.
