Asa Dokter di Tarakan, Pasien Wilayah Perbatasan Tak Bertaruh Nyawa Lagi

Oktavian Balang - detikKalimantan
Selasa, 25 Nov 2025 11:30 WIB
Foto: Dokter Spesialis Bedah dr Ihya, SpB FICS AIFO-K bersama Pasien dan keluarga. (Istimewa)
Tarakan -

Sempat jadi sorotan, kasus anak asal Krayan yang menahan sakit akibat ruptur organ dan mengalami delay 4 jam di bandara sebelum dirujuk ke Tarakan. Hal ini memicu keprihatinan mendalam sekaligus melahirkan usulan solusi sistemik dari tenaga medis.

Dokter Spesialis Bedah yang menangani pasien kritis tersebut, dr Ihya, SpB FICS AIFO-K, menilai ketergantungan pada penerbangan komersial untuk evakuasi pasien gawat darurat (emergency) di perbatasan diibaratkan 'judi' nyawa. Ia mengusulkan penerapan konsep Pentahelix untuk memastikan aksesibilitas kesehatan di wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar).

"Hal ini seharusnya sudah bisa dirasakan semua masyarakat. Kita tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah. Jadi dibutuhkan strategi multi-komponen," kata dr Ihya kepada detikKalimantan, Selasa (25/11).

dr Ihya menjelaskan bahwa dalam situasi kegawatdaruratan, aksesibilitas atau ambulatori adalah prioritas utama. Keterlambatan seperti yang dialami pasien Krayan dengan HB anjlok dari 11,3 menjadi sisa 6 dan risiko shock hypovolemic disebabkan oleh kendala transportasi.

"Melalui pendekatan pentahelix, saya mendorong kolaborasi aktif antara lima elemen, seperti pemerintah, NGO, Perusahaan Swasta, akademisi dan media," bebernya.

Tujuannya adalah memastikan ketersediaan akses evakuasi medis (Medevac) yang tidak terikat jadwal penerbangan reguler.

"Perusahaan, misalnya melalui dana CSR, harusnya bisa berkontribusi untuk memberikan akses ini. Ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah. Semakin lama penanganan tertunda, semakin menurun survival rate (tingkat keselamatan) pasien," tegasnya.

Solusi tersebut muncul dari rasa miris dr Ihya melihat ironi pelayanan kesehatan di Indonesia. Tim medis di Tarakan siap dengan fasilitas lengkap dan skill bedah yang mumpuni, namun seringkali tak berdaya karena pasien datang sudah terlalu lambat.

"Rasanya tragis dan menjadi suatu kesia-siaan, jika kita punya rumah sakit bagus, alat canggih, dan nakes mumpuni, tapi pasien meninggal di jalan," katanya.

Beban moral terberat turut diceritakan dr Ihya, saat harus mengedukasi keluarga pasien tentang risiko tertinggi hingga potensi meninggal di meja operasi. Hal ini harus disampaikan karena kondisi pasien sudah sangat parah akibat delay yang berlarut-larut.

"Saya sampaikan terbuka sama ibunya bahwa kondisinya gawat. Saya bilang, Ini bisa berpotensi meninggal di meja operasi. Kondisi gawat ini diperparah oleh keterlambatan akses," ceritanya.

Di tengah desakan perbaikan akses kesehatan, dr Ihya juga memberikan kabar terbaru yang menggembirakan mengenai kondisi pasien anak yang diketahui bernama Novendi itu.

"Puji Tuhan, banyak perubahan. Pasien ini sudah di rumahnya, Sabtu (22/11)," ujar dr Ihya.

Ia menjelaskan bahwa Novendi baru saja melakukan kontrol rutin di poli klinik. Meskipun sudah pulih, ada perawatan khusus yang harus dijalani pasca operasi pengangkatan limpa (organ yang cedera).

"Tadi kontrol di poli saja. Saya sampaikan agar vaksinasi dulu meningitis dan vaksin flu khusus, sebagai proteksi tambahan untuk meningkatkan kekebalan pasca organ limpanya si adek diangkat. Besok Novendri dijadwalkan kembali kontrol berikutnya pada Kamis besok pukul 08.00 WITA," kata dia.

dr Ihya berharap melalui skema Pentahelix ini, pemerintah dan semua komponen terkait dapat memberikan kontribusi nyata dalam memperbaiki akses kesehatan di perbatasan.

"Harapannya, kegawatdaruratan medis tidak lagi menjadi judi nyawa bagi masyarakat Indonesia dimanapun lokasinya," ucap dr Ihya.



Simak Video "Video: Pangdam Mulawarman Bicara Penyebab Anggota TNI Serang Mapolres Tarakan"

(aau/aau)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork