Mengenal 4 Tokoh Awal PGRI dan Perannya Bagi Guru

Mengenal 4 Tokoh Awal PGRI dan Perannya Bagi Guru

Bayu Ardi Isnanto - detikKalimantan
Jumat, 21 Nov 2025 09:40 WIB
Ilustrasi Hari Guru Nasional.
Ilustrasi Hari Guru Nasional. Foto: Gemini AI
Balikpapan -

Hari Guru Nasional tidak terlepas dari lahirnya Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). PGRI terbentuk dalam proses panjang sejak era Hindia Belanda, namun baru menyatu setelah kemerdekaan, yakni 25 November 1945.

Ada banyak tokoh yang berperan dalam pendirian PGRI hingga membesarkan organisasi ini hingga sekarang. Dalam artikel ini akan kita ulas empat tokoh.

Sejarah Singkat Lahirnya PGRI

Organisasi perjuangan guru pribumi pertama berdiri tahun 1912 dengan nama Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB). Anggotanya beragam, mulai dari guru bantu, guru desa, kepala sekolah, hingga penilik sekolah, yang umumnya bertugas di sekolah rakyat.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kesadaran nasional semakin kuat ketika jabatan kepala HIS yang semula selalu dipegang Belanda mulai beralih ke guru Indonesia. Perjuangan guru pun berkembang, dari sekadar menuntut kesetaraan menjadi bagian dari gerakan kemerdekaan.

Pada 1932, PGHB berganti nama menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI). Ini menjadi langkah berani yang menegaskan identitas kebangsaan dan mengejutkan pemerintah kolonial.

Masa pendudukan Jepang sempat menghentikan aktivitas PGI karena semua organisasi dilarang. Namun semangat proklamasi 17 Agustus 1945 membangkitkan kembali tekad guru.

Dalam Kongres Guru Indonesia di Surakarta pada 24-25 November 1945, seluruh organisasi guru melebur menjadi satu wadah tanpa membedakan latar belakang. Tepat 25 November 1945, seratus hari setelah proklamasi, lahirlah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) sebagai simbol persatuan dan pengabdian guru untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Tokoh-tokoh PGRI

Dalam sejarah panjang PGRI, tentu ada banyak tokoh yang mungkin tidak bisa disebut satu per satu. Di antaranya ada empat tokoh PGRI di masa awal kemerdekaan.

Berikut ini profil singkat mengenai empat tokoh PGRI yang dirangkum dari Jurnal SOSIO-E-KONS Universitas Indraprasta PGRI, Vol. 8 No 2 (Agustus 2016) dan SINDANG: Jurnal Pendidikan Sejarah dan Kajian Sejarah STKIP PGRI Lubuklinggau Vol 2 No 1 (Januari-Juni 2020).

1. Amin Singgih

Pada masa pendudukan Jepang, Amin Singgih bersama rekan-rekannya mendirikan organisasi "Guru" pada tahun 1943. Langkah ini menjadi simbol bahwa para guru Indonesia tetap berkomitmen pada kesatuan nasional meski dalam tekanan kolonial.

Ketika Indonesia merdeka, Amin Singgih tampil sebagai tokoh sentral dalam Kongres Guru yang berlangsung di Surakarta (Solo) pada 24-25 November 1945. Kongres ini melahirkan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), dan Amin Singgih dipercaya sebagai ketua pertama.

Namun, beberapa bulan kemudian ia diangkat sebagai Bupati Mangkunegaran, sehingga posisi Ketua Umum digantikan oleh Rh Koesnan.

Selain pembentukan PGRI, Kongres I menghasilkan keputusan lainnya. Dikutip dari situs Universitas Insan Cita Indonesia (UICI), ada tiga keputusan penting, yaitu:

  • Mempertahankan dan menyempurnakan Republik Indonesia.
  • Meningkatkan pendidikan dan pengajaran sesuai dengan dasar-dasar kerakyatan.
  • Membela hak dan nasib buruh secara umum, guru pada khususnya.

2. Rh Koesnan

Rh Koesnan atau Rahendra Koesnan adalah tokoh guru yang aktif sejak awal kemerdekaan. Ia tidak hanya berperan dalam organisasi PGRI, tetapi juga dipercaya menjadi Menteri Perhubungan dan Sosial dalam kabinet Moh Hatta.

Dalam Kongres I PGRI tahun 1945, ia menjabat sebagai wakil ketua mendampingi Amin Singgih. Tiga tahun kemudian, pada Kongres II di Surakarta (1948), Rh Koesnan memimpin sebagai ketua.

Di bawah kepemimpinannya, kongres menegaskan pentingnya sistem pengajaran yang berlandaskan kepentingan nasional serta memperjuangkan agar kesejahteraan guru tidak terhenti. Ia juga mendorong lahirnya undang-undang pokok pendidikan.

Pada Kongres IV di Yogyakarta (1950), Rh Koesnan kembali tampil sebagai Ketua I dalam struktur PB PGRI. Perjalanan panjangnya menunjukkan konsistensi dalam memperjuangkan pendidikan nasional dan kesejahteraan guru.

3. Soedjono Kromodimoeldjo

Nama Soedjono Kromodimoeldjo tercatat sebagai ketua Kongres III PGRI yang berlangsung di Madiun pada 27-29 Februari 1948. Soedjono Kromodimoeldjo juga mewakili PGRI dalam panitia upah negara, sebuah peran strategis yang menunjukkan kepedulian terhadap kesejahteraan guru.

Adapun dalam Kongres III dihasilkan keputusan penting, di antaranya penghapusan Sekolah Guru C (pendidikan guru dua tahun), pembentukan PGRI sebagai serikat guru yang nyata, serta penerbitan Majalah Guru sebagai media komunikasi organisasi.

4. Soedjono

Tokoh lain yang berperan besar dalam sejarah PGRI adalah Soedjono. Ia memimpin organisasi pada masa Demokrasi Liberal, sebuah periode penuh dinamika politik.

Dalam Kongres V PGRI yang berlangsung di Bandung pada 19-24 Desember 1950, Soedjono terpilih sebagai ketua. Kongres ini dikenal sebagai "Kongres Persatuan" karena berhasil melebur Serikat Guru Indonesia (SGI) dan Persatuan Guru Indonesia (PGI) ke dalam PGRI.

Dua tahun kemudian, pada Kongres VI di Malang (1952), Soedjono kembali memimpin. Kongres ini menghasilkan pembaharuan dalam pendidikan, verifikasi cabang organisasi, serta pembentukan panitia konsepsi pendidikan nasional.

Pada masa kepemimpinannya pula, Mars PGRI ciptaan Basuki Endropranoto disahkan, sehingga menambah identitas simbolik organisasi.

Halaman 2 dari 3
(bai/bai)
Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads