Peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Kabupaten Malinau ke-26 diwarnai dengan penyampaian aspirasi dari para penjaga adat. Sebanyak 11 lembaga adat yang mewakili suku Dayak, Tidung, dan Bulungan menitipkan harapan besar untuk pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat.
Aspirasi ini disampaikan langsung dalam Rapat Paripurna Istimewa Ke-1 DPRD Kabupaten Malinau, Minggu (26/10/2025). Para tokoh adat ini menekankan RUU tersebut adalah bentuk pengakuan negara atas jati diri mereka.
"Bagi kami masyarakat adat, RUU Masyarakat Adat bukan sekedar aturan, melainkan pengakuan atas jati diri dan keberlanjutan kehidupan masyarakat adat di bumi Intimung Malinau dan seluruh Nusantara," demikian bunyi salah satu poin aspirasi yang dibacakan Ketua Adat Dayak Lundayeh Malinau, Paul Belapang di Gedung DPRD Malinau.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mereka juga menegaskan posisi sebagai penjaga tanah, hutan, air, dan batas negara.
"Kami tidak meminta lebih, hanya pengakuan dan perlindungan atas hak-hak kami. Kami percaya, ketika masyarakat adat dilindungi, maka Indonesia akan berdiri semakin kuat, lebih bermartabat, dan berkeadilan," lanjut pernyataan itu.
Menanggapi tuntutan tersebut Anggota DPR RI dari Dapil Kalimantan Utara, Deddy Sitorus, yang hadir dalam acara tersebut, menyatakan siap menerima amanah dan memperjuangkannya.
"Kalau komitmen saya akan menerima amanah ini dan memperjuangkan dengan sekuat-kuatnya tenaga," kata Deddy kepada wartawan usai rapat paripurna.
Meski demikian, Deddy mengingatkan bahwa perjuangan ini tidak mudah. Ia menyebut akan ada benturan kuat dengan kepentingan besar, yakni negara yang mengejar pajak dan korporasi yang mengejar profit.
"Kepentingan atas hutan, atas lingkungan itu pasti selalu berbenturan dengan kepentingan negara menghasilkan pajak dan kepentingan korporasi menghasilkan profit," jelasnya.
Oleh karena itu, ia meminta masyarakat adat dan pemerintah daerah bersatu padu. Menurutnya, perjuangan ini akan gagal jika hanya diserahkan kepada anggota DPR seorang diri.
"Hanya bisa terjadi, posisi tawar yang sama jika masyarakat bersatu, jika pemerintah daerah bersatu. Tetapi kalau semua diam, semua menyerahkan ini hanya kepada DPR apalagi orang per orang, saya kira akan gagal," ucap politisi PDI Perjuangan ini.
Saat disinggung soal konflik masyarakat adat dengan Proyek Strategis Nasional (PSN), khususnya Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Mentarang, Deddy memberikan catatan.
Ia sepakat bahwa investasi dibutuhkan untuk membangun ekonomi. Namun, ia mewanti-wanti agar investasi tersebut tidak merugikan masyarakat yang telah hidup ribuan tahun di wilayah itu, serta tidak merusak keseimbangan alam.
"Keinginan kita untuk mendatangkan investasi membangun industri tidak boleh merugikan masyarakat yang berdiam di wilayah itu sudah ribuan tahun," ujarnya.
Deddy secara khusus meminta agar dampak proyek raksasa itu dipastikan untuk masyarakat lokal, bukan untuk kepentingan lain di luar negeri.
"Yang harus kita pastikan adalah bahwa benar nanti PLTM Mentarang itu memberikan dampak sebesar-besarnya bagi masyarakat setempat. Jangan sampai listriknya justru dijual ke Singapura atau kemana-mana, itu kan kita akan sangat kecewa dan marah kalau benar begitu," sentil Deddy.
Ia juga menyinggung soal izin bagi korporasi yang terkesan mudah, berbanding terbalik dengan pengakuan hak untuk masyarakat adat.
"Kenapa kalau untuk korporasi izin dengan mudah diberikan, tapi untuk masyarakat sendiri setengah mati mengurus hutannya," kritik Deddy.
(aau/aau)
