Asal-usul Kata Boti, Sebutan untuk Pria Feminin

Asal-usul Kata Boti, Sebutan untuk Pria Feminin

Nadhifa Aurellia Wirawan - detikKalimantan
Sabtu, 20 Sep 2025 09:00 WIB
Brunei Akan Terapkan Hukum Rajamm Sampai Mati Bagi LGBT
Foto: ABC Australia
Samarinda -

Salah satu istilah yang kian populer belakangan ini adalah kata "boti". Kata ini sering dipakai dengan nada bercanda, tapi di baliknya ada sejarah dan stigma sosial yang cukup kompleks.

Boti kerap dilekatkan pada pria dengan ekspresi diri yang dianggap melambai atau feminin. Kata ini muncul di kalangan anak muda perkotaan, baik di media sosial maupun obrolan sehari-hari.

Namun jika ditelusuri lebih jauh, sebutan boti bukanlah istilah asli bahasa Indonesia, melainkan hasil adaptasi dari istilah dalam komunitas tertentu yang kemudian dipopulerkan ke masyarakat luas.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lantas bagaimana sejarah terciptanya istilah ini?

Dari Bottom ke Boti

Istilah boti sebenarnya tidak lahir begitu saja. Kata ini merupakan adaptasi dari istilah bahasa Inggris bottom, yang dalam komunitas gay merujuk pada peran reseptif atau pasif dalam hubungan seksual sesama jenis.

Dalam bahasa gaul komunitas gay internasional, kata itu kemudian dipelesetkan menjadi botty atau boti, sebelum akhirnya diadopsi ke dalam bahasa gaul Indonesia.

Menurut penelitian Farkhan Solikhin dan Vania Pramudita Hanjani dalam Melampaui Maskulinitas Tradisional: Pelabelan 'Boti' pada Laki-Laki Pengguna Kosmetik (2025), istilah boti pada mulanya berkembang di lingkaran komunitas gay sebagai bentuk bahasa gay. Bahasa ini berfungsi sebagai alat komunikasi internal yang membantu komunitas tersebut menjaga privasi dan identitasnya di ruang publik.

Konsepnya bisa dipahami lewat teori stigma dari Erving Goffman (1963). Ia menjelaskan bahwa stigma merupakan atribut negatif yang dilekatkan pada individu atau kelompok yang dianggap tidak sesuai norma masyarakat. Dalam kasus ini, laki-laki pengguna kosmetik misalnya, sering distigma sebagai feminin dan tidak maskulin. Dari stigma semacam itulah, pelabelan seperti boti muncul dan melekat.

Dari Simbol Identitas ke Julukan Diskriminatif

Namun, perjalanan kata boti tidak berhenti di komunitas gay. Dalam perkembangannya, istilah ini menyebar ke masyarakat luas, bahkan keluar dari konteks aslinya. Di lingkungan kampus, misalnya, kata boti sering dijadikan ejekan untuk laki-laki yang dianggap tidak sesuai standar maskulinitas.

Hal ini dipaparkan oleh Nuzulul Shofa' Salsabila dan Nurul Ilmi Idrus dalam Boti: Stigma Terhadap Laki-laki Feminin di Lingkungan Kampus (2025). Mereka mencatat bahwa boti kerap dipakai sebagai bentuk diskriminasi verbal, baik berupa julukan, candaan, hingga pengucilan sosial. Bahkan ada variasi makna populer seperti boti singkatan dari "banci oto", yang dipakai untuk merendahkan pria feminin.

Dampaknya tidak main-main. Julukan yang awalnya terdengar ringan bisa menimbulkan rasa malu, mengikis kepercayaan diri, hingga berdampak pada kesehatan psikologis individu yang disasar. Bagi sebagian laki-laki feminin, label boti menjadi semacam beban sosial yang harus mereka tanggung di ruang-ruang interaksi sehari-hari.

Namun, di sisi lain, ada juga sebagian kelompok yang mencoba merebut kembali istilah ini sebagai simbol ekspresi identitas. Bagi sebagian pria feminin dalam komunitas LGBTQ, kata boti justru dipakai secara santai sebagai bagian dari bahasa sehari-hari di lingkaran yang suportif.

Dengan demikian, boti memiliki makna yang berlapis, bisa menyakitkan ketika digunakan sebagai hinaan, namun bisa pula menjadi simbol solidaritas ketika dipakai dalam komunitas yang menerima.

Bahasa Gay sebagai Simbol Perlawanan

Bahasa gay sendiri memang unik. Bahasa ini lahir sebagai bentuk interaksionisme simbolik, yaitu penggunaan simbol-simbol linguistik yang hanya dipahami oleh komunitas internal.

Bahasa gay berfungsi untuk menghubungkan individu-individu dalam komunitas, sekaligus melindungi mereka dari diskriminasi di ruang publik.

Namun, penggunaannya juga bervariasi. Gay yang memiliki sifat feminin, termasuk waria, lebih sering memakai bahasa ini sebagai bagian dari identitas mereka.

Sebaliknya, gay dengan penampilan maskulin cenderung menghindarinya karena tidak ingin orientasi seksual mereka terlihat jelas. Dari sini bisa dipahami bahwa bahasa bukan hanya sebagai sarana komunikasi.

Kata Gaul yang Berubah Makna

Seiring berjalannya waktu, media sosial mempercepat penyebaran istilah ini, sehingga anak-anak muda menggunakannya tanpa selalu memahami konteks historisnya. Sama seperti banyak kata gaul lainnya, boti pun mengalami pergeseran makna, dari istilah khusus dalam komunitas gay menjadi bahasa gaul umum yang menunjuk pada pria melambai.

Meski begitu, penting untuk diingat bahwa bahasa bukanlah sekadar alat komunikasi, melainkan juga alat kekuasaan. Sebutan boti, jika dipakai sembarangan, bisa melanggengkan stigma dan diskriminasi terhadap individu yang ekspresinya dianggap berbeda dari norma maskulinitas.

Masyarakat perlu belajar untuk lebih bijak dalam menggunakan istilah-istilah gaul semacam ini. Bercanda boleh, tapi tidak seharusnya menjadikan bahasa sebagai alat untuk merendahkan orang lain. Sebab pada akhirnya, bahasa membentuk cara kita memandang orang lain dan juga cara orang lain memandang dirinya sendiri. Semoga artikel ini bermanfaat.

Halaman 2 dari 3


Simak Video "Video: Artikel Wall Street Journal soal Demo Indonesia Soroti Data BPS"
[Gambas:Video 20detik]
(des/des)
Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads