Sebanyak 5 ribu dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Program Makan Bergizi Gratis (MBG) diduga fiktif. Meski terdaftar, dapur-dapur MBG itu disebut tidak ditemukan bangunannya.
Hal tersebut diungkap anggota Komisi IX DPR RI Nurhadi dalam rapat kerja bersama Badan Gizi Nasional (BGN), Senin (15/9/2025). Dalam rapat, Nurhadi juga mengaku pernah melaporkan adanya oknum yang menjual lokasi titik dapur MBG kepada BGN.
"Seperti yang pernah saya laporkan ke bapak, bahwa di lapangan ada oknum yang menjual lokasi titik. Ternyata kan benar, buktinya BGN melakukan kebijakan roll back yang akhirnya alhamdulillah ditemukan sekitar 5.000 titik fiktif," kata Nurhadi, dikutip Jumat (19/9/2025).
"Artinya ternyata di lapangan seperti itu, dan itu belum masalah-masalah lagi yang lain seperti keracunan yang masih sering terjadi," sambungnya.
Dalam keterangan tertulisnya, Nurhadi mengatakan temuan ini menandakan terdapat oknum yang mengetahui sistem BGN. Menurutnya, usai oknum tersebut mengunci titik-titik, kemudian titik itu dijual kepada investor.
"Jadi ada oknum yang tahu sistem BGN, tahu dia cara daftarnya seperti apa dan pakai yayasannya dia. Setelah oknum ini mengunci titiknya ternyata dia nggak bangun-bangun dapurnya, dan saat menuju 45 hari dijual-lah titik itu dengan ditawarkan ke investor," paparnya.
Nurhadi meminta agar temuan tersebut tak dipandang remeh. Sebab, dia mengatakan program MBG telah menyerap anggaran cukup besar.
"Dengan porsi anggaran sebesar itu, transparansi dan akuntabilitas mutlak diperlukan," tegasnya.
"Ribuan titik dapur yang mangkrak bukan sekadar soal teknis, melainkan menyangkut hak anak-anak Indonesia untuk mendapatkan asupan gizi yang layak sesuai mandat program," lanjutnya.
Lebih lanjut, Nurhadi meminta BGN agar memperkuat mekanisme verifikasi dan pengawasan lapangan sejak awal. Nurhadi pun mempertanyakan penjelasan BGN terkait lokasi yang belum dibangun dapur untuk program MBG, namun sudah tercatat.
"Bagaimana mungkin ribuan lokasi sudah terdaftar, tetapi tidak menunjukkan progres pembangunan meski melewati tenggat waktu 45 hari," ujarnya.
"Sistem yang longgar membuka celah terjadinya praktik percaloan, dominasi investor besar, hingga penyalahgunaan dana publik, seperti temuan dugaan 'konglomerasi yayasan' oleh lembaga pemantau independen," sambung Nurhadi.
Klarifikasi BGN ada di halaman selanjutnya...
(bai/bai)