Masalah warisan kerap kali menimbulkan konflik dalam keluarga, salah satunya adalah tentang rumah peninggalan orang tua. Tak jarang muncul pertanyaan, apakah seseorang boleh tinggal di rumah warisan sebelum ada pembagian atau tanpa izin ahli waris lain?
Dalam sistem hukum Indonesia, persoalan warisan tidak hanya diatur oleh satu sistem hukum saja. Indonesia menganut pluralisme hukum waris, yaitu adanya tiga pilihan sistem hukum yang bisa dijadikan dasar dalam menyelesaikan perkara warisan, yaitu Hukum Waris Perdata (BW/Civil Law), Hukum Waris Islam, dan Hukum Waris Adat. Ketiganya memiliki pendekatan berbeda dalam hal pembagian, hak, dan pengelolaan harta warisan.
Jika keluarga menggunakan jalur hukum perdata, maka persoalan menempati rumah warisan harus mengacu pada prinsip kepemilikan bersama (undivided ownership) sebelum harta tersebut dibagi secara sah. Artinya, selama belum ada kesepakatan pembagian atau belum dilakukan pembagian waris yang sah, rumah tersebut masih menjadi milik bersama seluruh ahli waris.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Maka, siapa pun yang ingin menempati rumah warisan harus mendapat persetujuan dari semua ahli waris. Menempati rumah tersebut tanpa izin dapat dianggap sebagai bentuk perampasan hak (onrechtmatige daad) yang berpotensi menimbulkan tuntutan hukum perdata.
Bagaimana aturan hukum perdata memandang hak atas rumah warisan? Bagaimana status penghuni rumah warisan sebelum pembagian? Serta bagaimana solusi hukum jika terjadi perselisihan antarsaudara dalam menempati aset warisan? Berikut pembahasannya.
Rumah Warisan Adalah Milik Bersama Para Ahli Waris
Dalam hukum perdata Indonesia, semua harta peninggalan pewaris secara otomatis menjadi milik bersama seluruh ahli waris setelah pewaris meninggal dunia, sampai ada pembagian resmi. Hal ini sesuai dengan asas undivided estate dalam hukum waris perdata, di mana selama belum ada pembagian warisan, semua ahli waris secara bersama-sama memiliki hak atas seluruh harta peninggalan tersebut, termasuk rumah.
Pasal 833 KUHPerdata menyatakan bahwa "para ahli waris, dengan sendirinya karena hukum, memperoleh hak milik atas segala barang, segala hak, dan segala piutang almarhum." Sedangkan Pasal 834 menyebut bahwa selama warisan belum dibagi, harta tersebut tetap menjadi milik bersama para ahli waris.
Oleh karena itu, menempati rumah warisan tanpa persetujuan semua ahli waris dapat dianggap sebagai bentuk penguasaan sepihak atas milik bersama, yang bisa digugat secara hukum. Apalagi jika yang menempati menghalangi akses saudara lainnya terhadap rumah tersebut, hal ini berpotensi menjadi perkara perdata maupun pidana, tergantung konteksnya.
Kesepakatan Bersama Kunci Utama
Dikutip dari detikProperti, Pengacara sekaligus Pakar Hukum Properti Muhammad Rizal Siregar mengatakan bahwa dalam hukum perdata, jika seluruh ahli waris telah sepakat, maka pembagian warisan bisa dilakukan tanpa gugatan pengadilan. Namun, kesepakatan ini harus dituangkan secara resmi dalam dokumen tertulis berupa Surat Kesepakatan Waris yang ditandatangani oleh semua ahli waris.
Kesepakatan ini mencakup beberapa hal, yakni:
- Pembagian rumah warisan
- Penggunaan rumah secara sementara
- Penjualan rumah dan pembagian hasilnya
- Penyewaan rumah oleh salah satu ahli waris
Jika salah satu ahli waris ingin menempati rumah warisan, hal itu sah-sah saja selama disetujui semua pihak, dan semestinya disertai kontribusi berupa sewa yang kemudian dibagi secara proporsional kepada ahli waris lain sesuai haknya.
Penjualan, Penyewaan, dan Pembagian Warisan
Sesuai dengan prinsip hukum perdata dan sebagaimana dipaparkan oleh Rizky Rahmawati Pasaribu, S.H., LL.M., dari kantor hukum Amali & Associates, aset warisan yang belum dibagi tidak boleh dijual, disewakan, atau dimanfaatkan secara sepihak. Semua tindakan hukum terhadap aset warisan harus berdasarkan persetujuan tertulis dari seluruh ahli waris.
Jika ingin mempertahankan rumah warisan, seorang ahli waris dapat membelinya dari ahli waris lain. Caranya:
- Harga rumah dihitung secara objektif
- Bagian miliknya dikurangkan dari harga total
- Sisa harga dibayarkan kepada ahli waris lain sesuai proporsi hak mereka
Contoh: Jika nilai rumah Rp1 miliar, dan seseorang memiliki hak 1/4, maka ia hanya perlu membayar Rp750 juta kepada ahli waris lain untuk mengambil alih rumah sepenuhnya.
Baca juga: Hukum Menempati Rumah Warisan dalam Islam |
Pilihan Jalur Hukum: Perdata, Islam, atau Adat?
Indonesia menganut sistem pluralisme hukum waris, artinya ada tiga jalur hukum yang dapat ditempuh sesuai dengan latar belakang keluarga.
- Hukum Waris Islam: Di bawah yurisdiksi Pengadilan Agama
- Hukum Waris Perdata (KUH Perdata): Di bawah yurisdiksi Pengadilan Negeri
- Hukum Waris Adat: Juga ditangani oleh Pengadilan Negeri, tapi berdasarkan kebiasaan hukum adat setempat
Dalam hukum perdata, KUH Perdata menjadi acuan utama. Secara khusus, aturan tentang warisan terdapat dalam Buku II KUH Perdata Pasal 830-1130. Beberapa pasal penting, antara lain:
- Pasal 833 BW: "Para ahli waris secara otomatis memperoleh hak milik atas segala barang peninggalan pewaris pada saat kematiannya."
- Pasal 834 BW: "Selama warisan belum dibagi, para ahli waris bersama-sama memiliki barang-barang warisan."
Risiko Jika Tidak Ada Kesepakatan
Ketidaksepakatan antar ahli waris bisa memunculkan sengketa yang rumit. Bila tak tercapai mufakat, maka jalan hukum adalah satu-satunya pilihan. Masuknya perkara ke pengadilan akan membutuhkan waktu, biaya, dan bisa merusak hubungan keluarga.
Salah satu contoh kasus adalah ketika tiga bersaudara sepakat menjual rumah warisan, namun salah satu dari mereka malah menempatinya dan menolak menjual atau mengizinkan saudaranya masuk. Kasus seperti ini bisa digugat ke pengadilan karena penguasaan sepihak terhadap milik bersama tanpa persetujuan.
Dalam hukum perdata, rumah warisan yang belum dibagi adalah milik bersama seluruh ahli waris. Tidak boleh ada satu pun ahli waris yang menempatinya tanpa persetujuan semua pihak. Segala bentuk pemanfaatan aset, seperti menempati, menyewakan, atau menjual rumah warisan, harus melalui musyawarah dan dituangkan dalam Surat Kesepakatan Waris.
Hukum perdata menjunjung tinggi prinsip kesetaraan hak para ahli waris dan mengedepankan penyelesaian berdasarkan mufakat. Untuk mencegah konflik berkepanjangan, sebaiknya segera dibuat dokumen resmi pembagian waris, dan hindari penguasaan sepihak.
Jika detikers merasa perlu membuat Surat Kesepakatan Waris atau berkonsultasi hukum, detikers bisa menghubungi notaris atau pengacara keluarga yang berpengalaman dalam hukum waris perdata. Semoga artikel ini bermanfaat.
Simak Video "Orangtua Meninggal, Wajibkah Ahli Waris Melunaskan Utang?"
[Gambas:Video 20detik]
(des/des)