Melihat Keadaan Ekonomi di Awal Kemerdekaan Indonesia

Melihat Keadaan Ekonomi di Awal Kemerdekaan Indonesia

Nadhifa Aurellia Wirawan - detikKalimantan
Minggu, 03 Agu 2025 10:00 WIB
Seorang jurnalis mengamati uang rupiah pecahan 100 ribu menggunakan alat kaca pembesar saat mengikuti sosialisasi keaslian uang rupiah di Ternate, Maluku Utara, Selasa (31/12/2024). Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Maluku Utara terus memberikan sosialisasi mengenai keaslian uang rupiah sebagai upaya memperkenalkan karakteristik uang rupiah asli kepada jurnalis untuk mencegah penyebaran uang palsu yang dapat mempengaruhi stabilitas ekonomi.
Ilustrasi uang. Foto: Antara Foto/Andri Saputra
Samarinda -

Ketika Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, perjuangan justru baru dimulai. Di atas kertas kita telah merdeka, tetapi secara ekonomi keadaan masih memprihatinkan. Republik Indonesia berdiri tanpa kas negara, tanpa sistem fiskal yang siap, dan tanpa warisan kekayaan dari penjajah.

Setelah kekuasaan Belanda berakhir dan Jepang menyerah kepada Sekutu, Indonesia tidak menerima transisi kekuasaan formal ataupun pengalihan sistem administrasi pemerintahan. Akibatnya, ketika republik ini lahir, tidak ada dana operasional, tidak ada anggaran negara, dan tidak ada sistem ekonomi nasional yang bisa langsung dijalankan.

Hal ini diperparah oleh kenyataan bahwa Belanda, melalui Netherlands Indies Civil Administration (NICA), berusaha merebut kembali kekuasaan termasuk kendali atas aset-aset ekonomi yang vital. Sementara Jepang meski sudah menyerah, tidak menyerahkan pemerintahan secara resmi kepada Republik Indonesia hingga menyebabkan kekosongan sistemik di bidang fiskal.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mata Uang yang Beredar pada Awal Kemerdekaan

Menurut berbagai sumber sejarah dan dokumen resmi Kementerian Keuangan, pada Agustus 1945 tidak ada kas negara yang tersisa. Uang yang beredar adalah campuran dari mata uang Jepang, Belanda, dan bahkan beberapa mata uang lokal yang dicetak oleh pejuang di daerah.

Ada tiga jenis mata uang yang digunakan masyarakat, yaitu:

Uang De Javasche Bank (warisan Hindia Belanda)
Uang Jepang
Uang Republik Indonesia (ORI), yang baru dicetak pada 1946

Ketidakpastian ini menimbulkan inflasi dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem ekonomi yang baru lahir. Nilai tukar menjadi tidak stabil, dan rakyat mulai kehilangan daya beli.

Blokade dan Agresi Militer dari Belanda

Setelah proklamasi, Belanda tak tinggal diam. Melalui Netherlands Indies Civil Administration (NICA), mereka memblokade jalur perdagangan Indonesia dan melancarkan dua kali Agresi Militer pada 1947 dan 1948.

Serangan ini bukan hanya ancaman militer, tetapi juga menimbulkan tekanan ekonomi. Blokade membuat ekspor mandek, impor terhambat, dan kas negara yang sudah kosong membuat Indonesia semakin tidak berdaya.

Situasi sulit ini membuat pemerintah Indonesia saat itu harus berpikir kreatif. Salah satu langkah penting adalah pembentukan Badan Penolong Pembiayaan Republik Indonesia (BPPRI), yang bertugas menghimpun dana dari rakyat.

Rakyat Indonesia yang baru saja merdeka, menunjukkan dukungan luar biasa. Sumbangan rakyat menjadi sumber dana utama untuk menjalankan pemerintahan. Para pedagang, petani, buruh, hingga pelajar menyumbang dalam bentuk uang, emas, perhiasan, bahkan beras dan hasil bumi lainnya.

Salah satu kisah terkenal datang dari Masjid Kauman Yogyakarta, di mana para jamaah menyumbangkan perhiasan emas mereka untuk Republik Indonesia. Sultan Hamengkubuwono IX juga memberikan dana pribadi dan menyumbangkan gaji resminya sebagai kepala daerah untuk membiayai pemerintah pusat.

Strategi Keuangan: Pinjaman Nasional dan ORI

Melihat antusiasme rakyat, Menteri Keuangan Ir Soerachman Tjokroadisoerjo meluncurkan Pinjaman Nasional pada Juli 1946, yang disahkan oleh BPKNIP. Pemerintah menargetkan dana sebesar Rp 500 juta, dan melalui Bank Tabungan Pos serta pegadaian, target itu tercapai.

Dalam kondisi yang serba darurat, Menteri Keuangan pertama RI, Alexander Andries Maramis mengambil langkah berani. Pada 29 September 1945, ia mengeluarkan dekrit yang menegaskan penolakan terhadap uang Jepang dan De Javasche Bank sebagai alat pembayaran sah. Langkah ini menjadi pijakan awal menuju penciptaan mata uang nasional yang berdaulat.

Namun, karena proses perencanaan dan pencetakan memerlukan waktu, masyarakat tetap diperbolehkan menggunakan uang Jepang untuk sementara, sembari menunggu kehadiran uang baru milik Indonesia.

Akhirnya, setelah proses yang panjang dan penuh tantangan, pemerintah RI berhasil mencetak dan meluncurkan mata uang pertamanya yang disebut Oeang Republik Indonesia (ORI). ORI resmi diedarkan pada 30 Oktober 1946. Tanggal ini kemudian diperingati sebagai Hari Oeang hingga kini.

ORI dicetak di tempat-tempat yang tersembunyi dan darurat, seperti rumah-rumah warga atau gudang, mengingat kondisi Indonesia saat itu yang masih berada dalam tekanan militer Belanda. Percetakan dilakukan oleh Panitia Penyelenggara Pencetakan Uang Kertas Republik Indonesia (PPPUR) yang dibentuk oleh pemerintah pusat.

Selain pinjaman nasional dan ORI, untuk memperkuat mata uang nasional ini, pemerintah menerapkan program sanering, yaitu pencabutan dan penukaran mata uang lama. Penggunaan uang NICA dilarang karena dianggap sebagai alat penjajahan ekonomi.

Diplomasi dan Perencanaan Ekonomi

Pemerintah juga mengambil langkah diplomasi yang jitu. Salah satunya adalah kerja sama dagang dengan India pada 1946. Indonesia mengekspor beras sebagai bentuk hubungan dagang, sekaligus pengakuan de facto atas kemerdekaan kita oleh negara lain.

Di dalam negeri, pemerintah menggelar Konferensi Ekonomi Nasional pada 1946 untuk menyusun arah kebijakan ekonomi nasional. Kemudian pada Januari 1947, dibentuk Planning Board atau Badan Perancang Ekonomi yang bertugas merancang pembangunan jangka panjang, termasuk sistem perpajakan dan belanja negara.

Seiring perkembangan, Indonesia mulai menasionalisasi aset-aset strategis. De Javasche Bank dinasionalisasi dan kemudian menjadi Bank Indonesia, sebagai bank sentral resmi negara. Kebijakan Ekonomi Benteng juga diperkenalkan untuk memperkuat pengusaha pribumi agar tidak terus-menerus tergantung pada modal asing.

Sementara itu, reformasi agraria mulai dijalankan dan struktur militer diperbaiki lewat program RERA (Reorganisasi dan Rasionalisasi) agar beban keuangan negara lebih tertata.

Kondisi keuangan Indonesia saat baru merdeka benar-benar berada di titik nol. tapi justru dari titik itulah semangat gotong royong tumbuh subur. Tidak ada warisan dana, tidak ada cadangan emas, tapi ada satu kekuatan yang tak ternilai, yaitu keyakinan rakyat dan pemimpinnya bahwa Indonesia bisa berdiri sendiri.

Lewat kebijakan strategis seperti Pinjaman Nasional, penerbitan ORI, diplomasi dagang, dan nasionalisasi sektor vital, Indonesia perlahan-lahan membangun sistem keuangan nasional dari nol.

Ini adalah bukti bahwa kemerdekaan bukan hanya ditentukan oleh pengakuan dunia, tetapi oleh kemampuan sebuah bangsa untuk bertahan dan membangun dari ketiadaan.




(aau/aau)
Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads