Di Balik Perjalanan Ati Bachtiar Mengabadikan Yeq Lawing dan Budaya Dayak

Di Balik Perjalanan Ati Bachtiar Mengabadikan Yeq Lawing dan Budaya Dayak

Oktavian Balang - detikKalimantan
Sabtu, 02 Agu 2025 08:01 WIB
Yeq Lawing. Foto: Dokumentasi Ati Bachtiar
Yeq Lawing. Foto: Dokumentasi Ati Bachtiar
Tarakan -

Di balik 200 halaman buku YEQ LAWING Wanita Tangguh dari Long Isun, tersimpan kisah perjalanan pembuatnya. Ati Bachtiar, fotografer sekaligus penutur itu, menyelami pedalaman Kalimantan untuk mengabadikan keindahan budaya Dayak.

Lewat lensa kameranya Ati tidak hanya merekam gambar, tetapi juga napas budaya yang kian langka, khususnya tradisi telinga panjang Suku Bahau Umaq Paloq.

Ia pun membagikan momen berkesannya selama produksi di Long Isun, Kalimantan Timur. Ati rupanya menghabiskan waktu delapan tahun lamanya, untuk menjelajah Kalimantan dan mendokumentasikan 79 perempuan pewaris tradisi telinga panjang.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Salah satu momen paling berkesan baginya terjadi pada Oktober 2016, saat ia pertama kali bertemu Yeq Lawing di Desa Long Tuyoq, Kecamatan Long Pahangai, Kabupaten Mahakam Ulu.

"Saya ikut menugal di ladang pinggir Sungai Tasaan, anak Sungai Mahakam. Perjalanan ke sana melewati riam, baju saya basah kuyup karena tak bawa baju ganti," kenang Ati sambil tertawa.

Tanpa pakaian kering, Ati terpaksa tidur hanya dengan sleeping bag, sementara pakaian basahnya dijemur di dekat api unggun.

"Malam itu, Yeq membangunkan saya untuk makan bersama. Kami menyantap ikan nyaraan sepanjang setengah meter lebih, hasil buruan warga. Suasana penuh keakraban, kami bersenda gurau dengan pantun-pantun Dayak," ceritanya.

Momen ini menjadi titik awal hubungan personalnya dengan Yeq, yang bahkan mengangkatnya sebagai anak dengan nama Dayak, Buaq.

Dokumentasi Ati BachtiarFoto: Dokumentasi Ati Bachtiar

Salah satu pengalaman unik yang Ati temukan adalah berkemah ala warga suku Dayak bersama kaum muda Long Isun. Ia masih ingat betul kala sebagian warga bermain kartu remi, sementara lainnya berbagi cerita tentang kehidupan dan tradisi mereka.

"Setelah menugal, mereka mengajak saya berkemah di karangan, pinggir sungai yang surut. Kami tidur di atas batu-batu, ditemani api unggun, sambil membakar ikan hasil tombak dan daging payau (rusa) dari buruan," ujar Ati.

"Itu adalah Kalimantan banget. Sederhana, penuh kebersamaan, dan dekat dengan alam," tambahnya.

Pengalaman ini memperlihatkan kekayaan budaya Dayak yang masih hidup meski terancam modernisasi. Ati merasakan betul bagaimana warga Long Isun menjaga tradisi mereka, dari cara mereka berburu, memasak bersama, hingga berbagi cerita di bawah langit malam.

"Mereka punya cara hidup yang begitu harmonis dengan alam, tapi juga rapuh di tengah perubahan zaman," katanya.

Catatan dan Pengalaman Mahal Selama Dokumentasi

Selama proses dokumentasi, Ati juga bercerita menemukan banyak hal unik yang menjadi ciri khas Kalimantan. Salah satunya adalah tradisi telinga panjang, yang kini terhenti di generasi Yeq Lawing.

"Melihat Yeq dengan anting-anting berat di telinganya, wajahnya penuh makna, dan latar alam Mahakam Ulu, saya merasa sedang merekam sejarah yang hidup," ungkap Ati.

Ia juga terkagum dengan peran Yeq sebagai duta budaya yang memperkenalkan identitas Dayak hingga ke mancanegara.

Ati juga mencatat perubahan gaya hidup masyarakat Dayak, termasuk resistensi mereka terhadap pendatang, seperti yang ia dengar dari penolakan terhadap 'orang Jawa' di beberapa komunitas.

"Saya sempat bertanya-tanya, apakah saya juga dianggap pendatang? Tapi keramahan mereka membuktikan sebaliknya," ujarnya.

Ia selalu berusaha menghargai budaya Dayak, selayaknya kehadirannya pun dihargai dan disambut dengan hangat. Meski begitu, sebagai seorang Muslim Ati selalu berusaha menghormati tradisi lokal tanpa melanggar keyakinannya.

"Mereka tahu saya tidak makan babi, jadi mereka sendiri yang melarang saya ikut makan. Tapi buraq, minuman tradisional Dayak, saya cicipi secukupnya. Bukan untuk mabuk, hanya untuk menghormati kebersamaan," ceritanya.

Namun, harus diakui bahwa tantangan tak sedikit. Perjalanan ke pedalaman Kalimantan membutuhkan biaya besar dan logistik yang rumit.

"Saya serahkan pada Yang Maha Kuasa. Kalau ada rezeki, saya akan terus mencari nenek-nenek pewaris tradisi ini," katanya.

Bagi Ati, fotografi bukan sekadar profesi, melainkan panggilan untuk mencatat sejarah. Ia berharap bukunya tidak hanya mengabadikan Yeq Lawing, tetapi juga mengundang generasi muda untuk menghargai budaya Indonesia yang nyaris terlupakan.

"Kalimantan menyimpan sejarah Indonesia dan dunia. Suku Dayak bertelinga panjang adalah salah satu yang terunik, tapi terancam punah. Saya ingin karya saya menjadi warisan yang dinikmati 100-200 tahun ke depan," harap dia.




(aau/aau)
Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads