Dosen Akuntansi Universitas Borneo Tarakan, Dr Mappa Panglima Banding mengungkapkan analisisnya tentang aktivitas ekonomi tak tercatat yang kian meresahkan. Aktivitas yang dikenal dengan istilah ekonomi bayangan (shadow economy) di Kalimantan Utara (Kaltara) itu, dinilai menjadi ancaman bagi kedaulatan negara sekaligus tantangan keadilan sosial.
Mappa yang juga menjabat sebagai Ketua DPD Ikatan Keluarga Alumni (IKAL) Lembaga Ketahanan Nasional (LEMHANNAS) Kaltara dan Akuntan Publik KAP MAPPA, menyebut beragam permasalahan mengancam Kaltara terkhusus wilayah perbatasan.
Ekonomi bayangan menurutnya adalah dunia paralel yang luput dari pengawasan pemerintah. Aktivitasnya mencakup warung kopi tanpa izin, ojek online tak terdaftar, hingga perdagangan barang selundupan seperti BBM, rotan, dan sawit di perbatasan Malaysia-Kaltara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Transaksi tunai, tanpa bukti resmi, dan bebas pajak adalah ciri khasnya," ujar Mappa kepada detikKalimantan, Selasa (29/7/2025).
Sekedar informasi, dikutip dari data Badan Pusat Statistik (BPS) Kaltara 2023 menyebut 42% tenaga kerja di provinsi ini bergantung pada sektor informal, dengan 30-40% di antaranya terserap dalam ekonomi bayangan.
Sektor ini menjadi penyelamat bagi masyarakat miskin atau ibu rumah tangga yang membutuhkan tambahan penghasilan, terutama saat pandemi. Namun, Mappa menyebut ekonomi bayangan sebagai lubang hitam pendapatan daerah.
"Pajak dan retribusi yang seharusnya mendanai infrastruktur seperti jalan, sekolah, atau puskesmas hilang. Data PDB jadi tak akurat, kebijakan pembangunan sering meleset, dan pelaku usaha resmi kalah saing karena biaya operasional mereka lebih tinggi," ucap dia.
Dampak sosial ekonomi bayangan tak kalah pelik. Pekerja di sektor ini rentan dieksploitasi, tanpa jaminan BPJS, pesangon, atau upah sesuai UMR. Meski menjadi katup penyelamat, ketidakpastian hukum membuat mereka sulit mengakses kredit bank atau pelatihan pemerintah.
Dari sisi hukum, ekonomi bayangan melemahkan supremasi hukum. Pedagang trotoar tanpa izin kerap memicu konflik dengan pengusaha resmi, sementara pungutan liar oleh oknum aparat memperparah situasi.
Di wilayah perbatasan seperti Nunukan dan Sebatik misalnya, perdagangan lintas batas ilegal menjadi ancaman keamanan. Laporan Kejaksaan Kaltara 2024 bahkan menyebut penyelundupan BBM di Nunukan bernilai Rp15 miliar per bulan.
"Jalur tikus di wilayah kepulauan sulit diawasi, membuka celah bagi jaringan kriminal, bahkan potensi teroris," ucap Mappa.
Dua sektor dominan dalam ekonomi bayangan Kaltara adalah perdagangan lintas batas dan perkebunan sawit ilegal. Selisih harga BBM (Rp7.500/liter di Malaysia vs Rp12.000/liter di Nunukan) mendorong penyelundupan.
Sementara itu, 70% kebun sawit rakyat di Kaltara belum bersertifikat. Pembukaan lahan tanpa izin dan penjualan buah sawit ke Malaysia tanpa laporan menjadi modus utama. Pengawasan lemah, satu petugas memantau 5.000 hektar kebun dan pandangan bahwa lahan adalah warisan leluhur menyulitkan penertiban.
Catatan Akademisi
Mappa menilai upaya Pemda Kaltara masih minim efektif. Koordinasi antara Bea Cukai, TNI/Polri, dan Pemda menurutnya masih lemah.
Biaya perizinan UMKM sering lebih mahal dibandingkan uang damai saat razia, dan 70% usaha mikro belum memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB). Meski ada program KUR Perbatasan dengan bunga 3% dan pendirian PLUT-KUMKM di Tarakan dan Nunukan, implementasinya belum optimal.
"Penertiban represif bukan solusi. Mematikan mata pencaharian rakyat kecil hanya akan memperburuk ketimpangan," kata Mappa.
Ia mengusulkan pendekatan jemput bola dengan perizinan UMKM gratis via aplikasi daring, insentif pajak seperti bebas PPh final untuk omset di bawah Rp500 juta, dan pendampingan agar pelaku informal naik kelas.
Mappa juga merekomendasikan pembentukan pos perbatasan terpadu yang mengintegrasikan petugas pajak, imigrasi, dan TNI, serta amnesti pajak bersyarat untuk kebun sawit rakyat yang mendaftar dalam setahun.
Pembangunan desa percontohan ekonomi inklusif di Sebatik dan Lumbis juga diusulkan olehnya, sebagai fondasi menarik ekonomi bayangan ke sistem formal.
"Ekonomi bayangan bukan sekadar masalah ekonomi, tapi ujian integritas bangsa di perbatasan. Pemerintah harus hadir dengan kebijakan berkeadilan, bukan intimidasi. Di balik ekonomi bayangan, ada rakyat yang bertahan hidup, bukan penjahat," tutur Mappa.
(aau/aau)