Semburan gas disertai api dari lokasi pengeboran migas milik PT Pertamina EP Sangasanga Field dan mitranya, PT Pertamina Drilling Services Indonesia (PDSI), masih menjadi keresahan warga di Kelurahan Jawa, Kecamatan Sangasanga, Kutai Kartanegara.
Ledakan yang terjadi pada Kamis (19/6/2025) sekitar pukul 05.00 WITA itu hingga kini belum tertangani dengan tuntas. Api dikabarkan sempat menjulang hingga setinggi 12 meter, dan berjarak hanya sekitar 700 meter dari permukiman warga. Selain ancaman kebakaran, warga mulai mengeluhkan dampak kesehatan akibat paparan gas, seperti mual, sesak napas, dan iritasi mata yang terus dialami sejak awal kejadian.
"Ini bukan lagi gangguan biasa. Sudah dua minggu warga terpapar, tapi tak ada kejelasan apa pun dari perusahaan. Mereka hidup dalam situasi beracun tanpa kepastian," ujar Mareta Sari, Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur pada Jumat (4/7/2025).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jatam menilai insiden itu mencerminkan kegagalan pihak perusahaan maupun pemerintah dalam menjamin keselamatan warga dan lingkungan sekitar. Mereka menyebut telah terjadi pelanggaran serius terhadap standar keselamatan pengeboran.
Tak hanya soal kesehatan, menurut Mareta, warga juga menghadapi persoalan baru berupa dugaan pencemaran air. Air bersih dari PDAM yang bersumber dari Sungai Sangasanga disebut mengalami perubahan warna, bau menyengat, serta kandungan lumpur yang tidak wajar.
Meski aduan warga telah disampaikan, respons dari PDAM dan pemerintah daerah dinilai minim. "Air yang seharusnya menjadi sumber kehidupan justru mengancam keselamatan. Pemerintah daerah dan PDAM diam saja, seolah menormalisasi pencemaran ini," kata Mareta.
Sementara itu, Kepala Divisi Advokasi dan Hukum Jatam Kaltim, Abdul Azis menerangkan di tengah kondisi darurat ini, bantuan yang diberikan kepada warga dinilai belum layak. Beberapa keluarga hanya menerima satu dus air mineral, susu kaleng, dan beberapa vitamin. Bantuan minim tersebut justru memicu ketegangan sosial di lingkungan terdampak.
"Bayangkan keluarga dengan balita harus berebut susu karena bantuan tak layak. Ini bukan soal logistik semata, ini soal kemanusiaan," ucap Azis.
Jatam menyebut Pertamina dan PDSI melanggar sejumlah regulasi, termasuk UU Nomor 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi serta ketentuan teknis dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Pihaknya pun mendesak pemerintah pusat, khususnya Kementerian ESDM, Direktorat Jenderal Migas, dan Inspektur Tambang, untuk segera turun tangan.
Jatam pun mendorong pembentukan tim investigasi independen yang melibatkan masyarakat sipil untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas penanganan insiden.
"Warga Sangasanga bukan alat uji dampak pengeboran. Negara wajib hadir untuk memastikan keselamatan rakyatnya, bukan berpihak pada perusahaan," ujar Azis.
(aau/sun)