ADO Kaltara Kritik Wacana Kenaikan Tarif Ojol, Sebut Hanya Pengalihan Isu

ADO Kaltara Kritik Wacana Kenaikan Tarif Ojol, Sebut Hanya Pengalihan Isu

Oktavian Balang - detikKalimantan
Jumat, 04 Jul 2025 10:01 WIB
Ojol di Kaltara.
Ojol di Kaltara. Foto: Dok. Istimewa
Tarakan -

Wacana kenaikan tarif ojek online (ojol) sebesar 8-15 persen yang digaungkan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) memicu reaksi para driver. Salah satunya Asosiasi Driver Online (ADO) Kalimantan Utara (Kaltara).

Ketua DPD ADO Kaltara Adrianinur alias Adit menegaskan bahwa wacana tersebut tidak pernah dibahas dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi V DPR RI. Menurutnya, yang dibahas dalam RDP dengan Komisi V adalah bagaimana mengurangi potongan aplikasi yang cenderung ke arah pungli, serta menghapus promo-promo seperti paket hemat yang merugikan driver.

"Bahkan, Ketua ADO Pusat tidak mengetahui adanya wacana kenaikan tarif. Fokus utama pembahasan adalah pengurangan potongan aplikasi dan penghapusan promo tidak jelas, bukan kenaikan tarif," ujar Adit kepada detikKalimantan, Kamis (3/7/2025).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Adit menyayangkan wacana kenaikan tarif yang dianggap sepihak dan tidak melibatkan asosiasi pengemudi secara langsung. Ia khawatir kenaikan tarif justru akan memperbanyak promo dari aplikator, sehingga potongan aplikasi bertambah dan pendapatan driver tetap tidak meningkat.

"Kalau tarif naik tapi promo juga bertambah, sama saja. Potongan aplikasi yang besar ini yang jadi masalah utama, bahkan ada yang melebihi batas maksimal 20 persen," tegasnya.

Menurut Adit, wacana kenaikan tarif ini berpotensi menjadi pengalihan isu dari tuntutan utama pengemudi, yaitu pengurangan potongan aplikasi menjadi maksimal 10 persen dan penetapan status pekerja yang jelas.

"Bisa jadi ini akal-akalan untuk mengalihkan perhatian dari sistem promo yang tidak transparan dan cenderung eksploitatif," katanya.

Dalam RDP bersama Komisi V DPR pada 30 Juni 2025, isu status pekerja ojol juga menjadi sorotan. Adit menjelaskan bahwa perbedaan persepsi antara pemerintah dan aplikator tentang status mitra menghambat akses driver ke jaminan sosial, seperti Bonus Hari Raya (BHR).

"Pemerintah menganggap mitra sebagai pekerja, tapi aplikator hanya melihat kami sebagai rekanan biasa. Kami minta regulasi yang jelas agar ada keadilan, termasuk akses ke bantuan sosial," ungkapnya.

Adit menilai kebijakan tarif naik ini bisa merugikan baik driver maupun penumpang jika tidak disertai solusi atas potongan aplikasi. Ia menilai, jika tarif naik namun potongan tetap besar, driver tidak akan merasakan manfaatnya.

"Penumpang juga bisa beralih ke moda transportasi lain karena faktor ekonomi, apalagi supply driver saat ini lebih besar dari permintaan," jelasnya.

Hingga kini, ADO masih menunggu keputusan resmi dari Komisi V terkait hasil RDP, termasuk usulan pengurangan potongan aplikasi dari 20 persen menjadi 10-15 persen. Adit menegaskan, selama kebijakan tidak merugikan driver dan menguntungkan semua pihak, ADO siap mendukung.

"Kalau kenaikan tarif diberlakukan tapi tidak menyelesaikan masalah potongan dan promo yang tidak jelas, ini cuma pengalihan isu. Kami akan terus menyuarakan keadilan untuk driver," tutup Adit.

Sebelumnya, Kemenhub menyatakan bahwa kajian kenaikan tarif ojol masih dalam tahap finalisasi dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Namun, asosiasi pengemudi seperti Garda Indonesia juga menolak wacana ini, menekankan bahwa penurunan potongan aplikasi jauh lebih mendesak ketimbang kenaikan tarif.




(des/des)
Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads