Fadli Zon Sebut Perkosaan Massal 98 Tak Terbukti, Aktivis Tuntut Maaf

Nasional

Fadli Zon Sebut Perkosaan Massal 98 Tak Terbukti, Aktivis Tuntut Maaf

Farih Maulana Sidik, Rakhmad Hidayatulloh Permana - detikKalimantan
Senin, 16 Jun 2025 15:01 WIB
Menbud Fadli Zon
Fadli Zon. Foto: Kementerian Kebudayaan
Jakarta -

Pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon tentang pemerkosaan massal pada kerusuhan 1998 menuai kritik keras dari banyak pihak, terutama aktivis. Aktivis mendesak Fadli Zon menyampaikan permintaan maaf resmi dan menarik pernyataan kontroversial tersebut.

Dilansir detikNews, Komnas Perempuan menyinggung tentang penyintas tragedi tersebut. Pernyataan Fadli Zon dinilai menyakitkan bagi para penyintas dan memperpanjang impunitas.

"Penyintas sudah terlalu lama memikul beban dalam diam. Penyangkalan ini bukan hanya menyakitkan, tapi juga memperpanjang impunitas," ujar Komisioner Komnas Perempuan Dahlia Madanih kepada wartawan, Minggu (15/6/2025).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Komnas Perempuan membeberkan bahwa hasil laporan resmi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) terkait kerusuhan Mei 1998 mendapati temuan adanya pelanggaran HAM yakni peristiwa 85 kasus kekerasan seksual, termasuk 52 kasus perkosaan.

Temuan tersebut telah disampaikan langsung kepada Presiden BJ Habibie dan menjadi dasar pengakuan resmi negara. Hal ini kemudian ditindaklanjuti dengan pembentukan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melalui Keppres Nomor 181 Tahun 1998.

Sementara itu, Komisioner Yuni Asriyanti menambahkan bahwa pengakuan atas kebenaran merupakan fondasi penting bagi proses pemulihan korban secara adil dan bermartabat. Untuk itu, dia menuntut adanya permintaan maaf resmi dan penarikan pernyataan.

"Kami mendorong agar pernyataan tersebut dapat ditarik dan disampaikan permintaan maaf kepada penyintas dan masyarakat, sebagai wujud tanggung jawab moral dan komitmen terhadap prinsip hak asasi manusia," ujarnya.

Komnas Perempuan juga meminta semua pejabat menghormati kerja-kerja dokumentasi resmi untuk mendukung pemulihan korban.

"Komnas Perempuan menyerukan kepada semua pejabat negara untuk menghormati kerja-kerja pendokumentasian resmi, memegang teguh komitmen HAM, dan mendukung pemulihan korban secara adil dan bermartabat," imbuh Wakil Ketua transisi Komnas Perempuan, Sondang Frishka Simanjuntak.

Klarifikasi Fadli Zon

Fadli Zon pun memberikan klarifikasi mengenai pernyataannya tersebut. Fadli Zon mengapresiasi kepedulian publik terhadap sejarah, termasuk era transisi reformasi pada Mei 1998. Dia mengatakan peristiwa huru hara pada 13-14 Mei 1998 menimbulkan sejumlah silang pendapat dan beragam perspektif, termasuk ada atau tidak adanya perkosaan massal. Bahkan, kata dia, liputan investigatif sebuah majalah terkemuka tak dapat mengungkap fakta-fakta kuat soal 'massal' ini.

Dia menambahkan, dalam laporan TGPF ketika itu, hanya disebut angka tanpa data pendukung yang solid seperti nama, waktu, peristiwa, tempat kejadian atau pelaku. Dia menyebut perlu kehati-hatian dan ketelitian karena menyangkut kebenaran dan nama baik bangsa.

"Saya tentu mengutuk dan mengecam keras berbagai bentuk perundungan dan kekerasan seksual pada perempuan yang terjadi pada masa lalu dan bahkan masih terjadi hingga kini. Apa yang saya sampaikan tidak menegasikan berbagai kerugian atau pun menihilkan penderitaan korban yang terjadi dalam konteks huru hara 13-14 Mei 1998," kata Fadli dalam keterangannya, Senin (16/6/2025).

"Sebaliknya, segala bentuk kekerasan dan perundungan seksual terhadap perempuan adalah pelanggaran terhadap nilai kemanusiaan paling mendasar, dan harus menjadi perhatian serius setiap pemangku kepentingan," sambungnya.

Fadli menjelaskan pernyataanya dalam sebuah wawancara menyoroti secara spesifik perlunya ketelitian, kehati-hatian, dan kerangka akademik dalam penggunaan istilah 'perkosaan massal'. Sebab, menurutnya, istilah ini dapat memiliki implikasi serius terhadap karakter kolektif bangsa dan membutuhkan verifikasi berbasis fakta yang kuat.

Fadli mengklaim pernyataannya bukan dalam rangka menyangkal keberadaan kekerasan seksual, melainkan menekankan bahwa sejarah perlu bersandar pada fakta-fakta hukum dan bukti yang telah diuji secara akademik dan legal.

"Penting untuk senantiasa berpegang pada bukti yang teruji secara hukum dan akademik, sebagaimana lazim dalam praktik historiografi. Apalagi menyangkut angka dan istilah yang masih problematik," jelasnya.

Fadli menyebut istilah 'massal' juga telah menjadi pokok perdebatan di kalangan akademik dan masyarakat selama lebih dari dua dekade. Dia pun menegaskan bahwa sensitivitas seputar terminologi ini harus dikelola dengan bijak dan empatik.

"Berbagai tindak kejahatan terjadi di tengah kerusuhan 13-14 Mei 1998, termasuk kekerasan seksual. Namun terkait 'perkosaan massal' perlu kehati-hatian karena data peristiwa itu tak pernah konklusif," ujarnya.

Halaman 2 dari 2


Simak Video "Video Puan Minta Fadli Zon Jelaskan Kenapa Tetapkan HKN 17 Oktober"
[Gambas:Video 20detik]
(des/des)
Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads