BPPD Soroti Perubahan Batas Darat yang Jadi Kendala Operasional PLBN Sebatik

BPPD Soroti Perubahan Batas Darat yang Jadi Kendala Operasional PLBN Sebatik

Oktavian Balang - detikKalimantan
Selasa, 03 Jun 2025 21:01 WIB
PLBN Sebatik.
PLBN Sebatik. Foto: Dok. PLBN Sebatik
Nunukan -

Kantor Staf Presiden (KSP) mengunjungi Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Sebatik di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara (Kaltara) yang belum beroperasi. Kunjungan pada Selasa (27/5) lalu itu menyoroti sejumlah permasalahan yang dinilai masih menghambat operasional PLBN meski telah diresmikan.

Kepala Badan Pengelola Perbatasan Daerah (BPPD) Nunukan Yance Tambaru mengungkapkan hasil kunjungan tersebut. Salah satu isu utama adalah status PLBN Sebatik yang tidak termasuk dalam Border Crossing Agreement (BCA) antara Indonesia dan Malaysia.

"Dulu Sebatik pernah menjadi pintu masuk, tapi dalam kesepakatan BCA terbaru, Malaysia hanya mengakui Nunukan sebagai pintu masuk ke Tawau, sehingga masyarakat Sebatik harus melalui Nunukan," ujar Yance saat dihubungi detikKalimantan, Selasa (3/6/2025).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lebih lanjut, Malaysia disebut masih mengklaim beberapa wilayah maritim Indonesia. KSP juga meyoroti perubahan batas darat yang menyebabkan sejumlah lahan warga hingga aset pemerintah di Sebatik masuk ke wilayah Malaysia usai kesepakatan atau MoU pada 18 Februari 2025 lalu.

"Ini menjadi isu penting. KSP juga meninjau kondisi bangunan PLBN untuk menentukan fungsi sementara, seperti kantor atau pelabuhan domestik, jika belum bisa dioperasikan sebagai pos lintas batas," imbuhnya.

Yance berharap KSP dapat mendorong penyelesaian ganti rugi bagi warga yang terdampak permasalahan lintas batas ini setelah menunggu selama lima tahun.

"Kami ingin KSP menindaklanjuti agar ada kejelasan, apakah Malaysia akan merobohkan bangunan di wilayah tersebut atau seperti apa," katanya.

Sempat muncul kekhawatiran masyarakat bahwa Sebatik akan mengalami konflik perebutan wilayah seperti Sipadan dan Ligitan karena PLBN tak kunjung beroperasi. Namun, Yance menepis kekhawatiran tersebut.

"Malaysia bukan negara kepulauan, jadi ada perbedaan interpretasi hukum internasional. Ini yang perlu diselesaikan melalui diplomasi," pungkasnya.




(des/des)
Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads