Pembangunan di wilayah perbatasan Kalimantan Utara (Kaltara), khususnya di Apau Kayan dan Krayan, menjadi perhatian pakar. Menurut ahli antropologi dari Universitas Indonesia (UI), negara kerap melihat masalah perbatasan hanya dari perspektif tertentu.
"Negara sering kali gagal memahami wilayah perbatasan karena hanya dilihat dari perspektif pertahanan dan kedaulatan," ujar Dosen Antropologi UI Dave Lumenta kepada detikKalimantan, Jumat (23/5/2025).
Dave melakukan penelitian di perbatasan Kalimantan sejak 2002, ketika ia mendapat beasiswa penelitian dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan The Nippon Foundations asal Jepang. Sebagai dosen antropologi, Dave mengikuti perkembangan pembangunan di perbatasan hingga kini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Dave, pembangunan di Kaltara sebaiknya mempertimbangkan juga aspek sosiologi. Apau Kayan dan Krayan memiliki hubungan sosial, budaya, dan ekonomi yang erat dengan Sarawak, Malaysia.
"Perbatasan Indonesia adalah warisan kolonial yang ahistoris, tidak relevan dengan sejarah mobilitas masyarakat Kaltara," katanya.
Pembangunan infrastruktur baru bergulir pada akhir 1990-an, dipicu ekspansi korporasi kayu seperti Sumalindo. Meski jalan telah mempermudah akses, Dave mencatat adanya kekhawatiran lokal.
"Di Apau Kayan, masyarakat resah jika jalan memicu masuknya penambang emas liar secara tak terkendali, mengubah demografi wilayah," katanya.
Pemekaran Kabupaten Malinau dan Nunukan sejak 1999 belum menyelesaikan masalah lokal. Krayan, misalnya, lebih terhubung dengan Daerah Aliran Sungai (DAS) Sesayap dan Trusan Sarawak ketimbang Nunukan.
Ekspor beras Adan ke Malaysia menunjukkan potensi ekonomi lintas batas yang perlu didukung pemerintahan lokal otonom.
"Jika Apau Kayan dan Krayan jadi daerah otonom baru (DOB), keputusan bisa lebih cepat dan langsung," jelas Dave.
Namun, ia mengingatkan pembentukan DOB harus efisien, inklusif, dan diawasi masyarakat agar tidak elitis. Ia mendorong pendekatan pembangunan perbatasan yang lebih holistik, melampaui perspektif hankam, pembangunan fisik, atau kapitalistik.
"Negara harus berpihak pada masyarakat perbatasan, memberikan ruang untuk merumuskan visi mereka sendiri," pungkasnya.
(des/des)