Pengesahan revisi UU TNI diiringi gelombang penolakan keras dari masyarakat. Tidak hanya di Jakarta, tetapi juga berbagai daerah. Pakar bidang hukum tata negara pun serempak menyuarakan kritik mereka terhadap disahkannya revisi UU yang dinilai menghidupkan kembali dwifungsi TNI dan Orde Baru ini.
Publik telah menyuarakan protes sejak revisi UU TNI dibahas secara tertutup oleh DPR. Puncaknya, masyarakat mendatangi kantor dewan perwakilan masing-masing daerah dan mendesak agar UU TNI dibatalkan.
Berikut rangkuman aksi yang terjadi di berbagai daerah maupun media sosial serta pendapat pakar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Massa Aksi di DPR hingga DPRD Bertahan sampai Malam
Aksi protes lapangan terjadi di berbagai daerah. Mulai dari Jakarta, Serang, Semarang, hingga Jogjakarta. Dilansir detikNews, massa aksi di depan gedung DPR mendirikan tenda sejak Kamis (20/3/2025) pukul 00.00 WIB demi mengawal jalannya sidang paripurna pada pagi harinya.
Begitu diumumkan bahwa revisi UU TNI telah disahkan sekitar pukul 11.00 WIB, massa di luar gedung DPR berusaha masuk. Sayangnya, gerbang gedung DPR dikunci. Sejumlah massa aksi pun berusaha membuka gembok dengan batu.
Massa terus bertahan hingga malam. Polisi sempat menembakkan water canon ketika massa menjebol pintu gerbang DPR.
Di Serang, aksi penolakan UU TNI berlangsung di Simpang Cicerai. Massa menutup arus lalu lintas dari empat arah. Petugas kepolisian pun memberlakukan pengalihan arus selama aksi yang digelar hingga malam hari itu.
Di Palangkaraya, Kalimantan Tengah (Kalteng), Solidaritas Aksi Kamisan Kalteng pun menggelar aksi menuntut pembatalan UU TNI. Aksi berlangsung meski diguyur hujan deras.
Kemudian di Jogja, aksi tolak revisi UU TNI berlangsung di depan DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Dilansir detikJogja, massa yang tergabung dalam Aliansi Jogja Memanggil menyatakan akan bertahan di Gedung DPRD hingga malam, bahkan subuh.
Pada tengah malam, sempat terjadi kericuhan dan pelemparan mercon. Polisi menembakkan water canon. Kericuhan mereda sekitar pukul 01.00 WIB.
Aksi tolak UU TNI di Semarang diwarnai penangkapan sejumlah peserta aksi. Mengutip detikJateng, aksi dimulai pada 15.20 WIB di depan Gedung DPRD Jateng. Kemudian empat orang peserta aksi demo dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Semarang Raya diamankan.
Sebagian peserta aksi pun bergeser ke Resmob Polrestabes Semarang untuk menunggu rekan-rekan mereka dibebaskan. Tampak juga sejumlah dosen dari Universitas Katolik Soegijapranata hadir di Polrestabes untuk mengurus pembebasan beberapa mahasiswa tersebut. Keempatnya dilepas pada 21.30 WIB.
Tagar #TolakRevisiUUTNI dan #IndonesiaGelap Mencuat
Media sosial juga tak kalah riuh. Tagar #TolakRevisiUUTNI dan #IndonesiaGelap ramai disematkan dalam postingan di berbagai platform, terutama X dan Instagram.
Dilansir detikInet, warganet menyuarakan keresahan mereka akan kembalinya dwifungsi ABRI, yakni ketika militer diperbolehkan untuk ikut campur dalam urusan politik dan sipil. Pengesahan revisi UU TNI ini disamakan dengan bangkitnya Orde Baru, sementara Reformasi berakhir setelah 27 tahun.
Fenomena protes melaluia media sosial menunjukkan peran medsos sebagai alat ampuh untuk mobilisasi massa dan penyebaran informasi di era digital. Menurut data We Are Social, Indonesia memiliki 139 juta pengguna aktif medsos pada 2024, atau sekitar 49,9% dari total populasi. Angka ini diperkirakan terus bertambah pada 2025. Platform seperti X, Instagram, dan TikTok pun menjadi ruang strategis untuk menggalang dukungan.
Kritik Para Pakar
Akademisi dan pakar pun tak tinggal diam. Setelah menyuarakan penolakan sejak revisi ini berproses, kini kritik mereka semakin keras setelah revisi disahkan menjadi UU.
Guru Besar Fisipol UGM Prof Wahyudi Kumorotomo menilai pengesahan ini berdampak buruk terutama bagi civil society. Pasal-pasal ambigu dapat mengembalikan rezim militer ke Indonesia layaknya Orde Baru.
"Perubahan juga bukan hanya soal teknis, tetapi jelas merupakan tanda democracy backsliding. Kembalinya rezim militer sudah semakin jelas terlihat," tegas Komorotomo, dilansir detikJogja.
Pakar politik Universitas Katolik Soegijapranata (Unika) Andreas Pandiangan, menilai pengesahan UU TNI ini menjadi pertanda jelas bahwa rezim Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka bermaksud mempertebal kembalinya Orde Baru.
"Saya sesalkan partai politik yang sebagian besar adalah produk reformasi itu justru mengiyakan. Jadi ini langkah mempertebal kembalinya orde baru," jelasnya kepada detikJateng.
Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara Unair Dr. Radian Salman mendorong agak masyarakat mengajukan uji materi ke MK. Menurutnya, aksi protes di lapangan maupun media sosial saja tidak cukup tanpa adanya upaya hukum formil.
"Kalau saya melihat bahwa prosesnya begitu cepat, menurut saya tidak mungkin (diubah atau dibatalkan). Jadi kita berharap, masyarakat sipil atau siapapun, bisa mengkoreksinya lewat Mahkamah Konstitusi," katanya, dikutip detikJatim.
(des/des)