Dalam rangka menyambut Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2025, detikers bisa memperdalam wawasan mengenai tokoh pendidikan nasional dan pemikirannya. Ada siapa saja? Cek biografinya di bawah ini!
Pendidikan adalah salah satu pilar kemajuan bangsa yang harus selalu dikedepankan. Tanpa pendidikan, kualitas sumber daya manusia (SDM) suatu bangsa akan kalah saing dengan bangsa lain. Akibatnya, bangsa tersebut gagal bersaing dalam berbagai bidang.
Di Indonesia, sejak zaman penindasan kolonial Belanda maupun Jepang, para tokoh sudah berjuang keras untuk memajukan pendidikan. Melalui beragam caranya, mereka berusaha mewujudkan Indonesia yang berpendidikan dan beradab.
Sebagai bangsa yang tidak melupakan jasa pahlawannya, detikers sudah semestinya mengetahui tokoh-tokoh pendidikan nasional Indonesia dan pemikirannya. Langsung saja, baca biografi ringkas sejumlah tokoh tersebut melalui artikel ini!
Kumpulan Biografi Ringkas Tokoh Pendidikan Nasional Indonesia
Disadur dari laman Museum Pendidikan Nasional, di antara tokoh pendidikan Indonesia adalah Ki Hajar Dewantara, KH Ahmad Dahlan, RA Kartini, RA Lasminingrat, dan Raden Dewi Sartika. Biografi ringkas masing-masingnya adalah:
1. Ki Hajar Dewantara
Lahir dengan nama Raden Mas Suwardi Suryaningrat, Ki Hajar Dewantara adalah putra dari Pangeran Ario Suryaningrat dan Raden Ayu Sandiah. Ia lahir di Jogja pada tanggal 2 Mei 1889. Lahir di keluarga ningrat, Ki Hajar Dewantara sudah banyak belajar sejak kecil.
Ia memulai pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS). Lalu, Ki Hajar Dewantara melanjutkan studi di sekolah guru alias Kweekschool. Sosoknya juga diketahui pernah belajar di STOVIA, sekolah dokter yang termasyhur kala itu.
Disadur dari buku Ki Hajar Dewantara oleh Suhartono Wiryopranoto dkk, usai gagal menjadi dokter, Ki Hajar Dewantara sempat menjadi jurnalis selama beberapa saat. Ia menghasilkan tulisan bernada kritik tajam terhadap pemerintah kolonial. Karenanya, bersama Cipto Mangunkusumo dan Douwes Dekker, Ki Hajar Dewantara diasingkan ke Belanda.
Sekembalinya dari Belanda, Ki Hajar Dewantara menaruh perhatiannya ke bidang pendidikan. Menurutnya, bangsa Indonesia tidak akan maju jika masih menerapkan sistem pendidikan kolonial yang diskriminatif. Oleh karena itu, ia mendirikan sekolah Taman Siswa dengan 3 prinsip utama, yakni Ing Ngarsa Sung Tuladha (di depan menjadi contoh), Ing Madya Mangun Karsa (di tengah membangun semangat), dan Tut Wuri Handayani (di belakang memberi dorongan).
Sampai sekarang, sekolah tersebut masih aktif dan terus berkontribusi untuk meningkatkan taraf pendidikan masyarakat Indonesia. Ki Hajar Dewantara wafat pada 28 April 1959. Jenazahnya disemayamkan di Taman Wijaya Brata Jogja.
2. Kiai Haji Ahmad Dahlan
Sosok yang dikenal sebagai pendiri Muhammadiyah ini lahir pada 1 Agustus 1868 di Kauman, Jogja. Disadur dari buku K.H. Ahmad Dahlan 1868-1923 oleh Abdul Mu'thi, Muhammad Darwis, nama kecil Ahmad Dahlan, lahir dari pasangan Kyai Haji Abu Bakar bin Haji Sulaiman dan Siti Aminah binti Kyai Haji Ibrahim.
Sejak kecil, Ahmad Dahlan yang lahir di keluarga kyai, sudah belajar banyak hal, utamanya tentang agama Islam. Sosoknya juga dikenal cerdas dan mampu memahami kitab-kitab pelajaran secara mandiri dan bahkan mengajarkan isinya.
Singkat cerita, KH Ahmad Dahlan mempunyai pemikiran untuk mendirikan organisasi bernama Muhammadiyah. Organisasi ini bertujuan untuk mengakomodir kepentingan umat Islam kala itu. Gagasan ini direalisasikan pada 18 November 1912.
Melalui Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan mengajarkan pendidikan Islam sesuai Al-Quran dan hadits. Tidak hanya itu, Muhammadiyah juga membangun Bustanul Athfal (Taman Kanak-Kanak), Sekolah Kelas II, Muallimin/Muallimat, hingga Kulliyatul Muballighin (SPG Islam).
Sampai sekarang, lembaga-lembaga pengajaran tersebut terus mencetak kader-kader untuk memajukan bangsa Indonesia. Tidak hanya bidang pendidikan, Muhammadiyah juga berkontribusi dalam berbagai aspek lain, seperti ekonomi dan kesehatan.
Kiai Haji Ahmad Dahlan menghembuskan napas terakhir pada 23 Februari 1923. Sosoknya yang berperan penting bagi kemajuan bangsa Indonesia dikebumikan di daerah Karangkajen, Brontokusuman, Mergangsan, Jogja.
3. Raden Ajeng Kartini
Selanjutnya, ada Raden Ajeng Kartini yang lahir pada 21 April 1879. Terlahir dalam sebuah keluarga ningrat, Kartini harus menjalani hidup layaknya putri bangsawan. Ia dikenai masa pingitan yang membuatnya merasa seperti dipenjara.
Menghadapi kondisi tersebut, Kartini berjuang untuk membebaskan diri. Ia berharap bisa menempuh pendidikan lebih lanjut, kendati ditentang ayahnya. Karena tidak bisa melakukan banyak hal selama menjalani pingitan, Kartini belajar banyak hal dari buku, koran, maupun majalah yang dipesan sang ayah.
Selama masa pingitan itu pula, ide-idenya tentang emansipasi wanita dituangkan dalam surat yang dikirimkan kepada teman-temannya. Di kemudian hari, pemikiran Kartini terkuak dalam surat-suratnya yang dihimpun dalam buku bertajuk Habis Gelap Terbitlah Terang.
Kartini berpendapat bahwasanya kaum wanita berhak untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Pasalnya, saat itu, para wanita hanya ditujukan untuk berakhir di dapur, tanpa kesempatan mengembangkan diri sesuai cita-citanya.
Dikutip dari buku Sisi Lain Kartini oleh Djoko Marihandono dkk, salah satu bukti konkrit perjuangan Kartini dalam bidang pendidikan adalah pendirian sekolah anak-anak gadis. Sekolah tersebut dimulai pada bulan Juni 1903. Para muridnya fokus dibina budi pekerti dan karakternya. Tidak hanya itu, para siswa juga diajarkan membaca, menulis, menggambar, memasak, hingga membuat kerajinan tangan.
RA Kartini meninggal pada 17 September 1904, selang 4 hari setelah melahirkan putra pertama sekaligus terakhirnya. Jenazahnya dikebumikan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah.
4. Raden Ayu Lasminingrat
Tokoh pendidikan lainnya adalah Raden Ayu Lasminingrat yang lahir dengan nama Soehara pada tahun 1843. Ia merupakan putri dari Raden Haji Muhamad Musa, seorang sastrawan Sunda, dan Raden Ayu Ria.
Menurut informasi dari laman resmi Dinas Kebudayaan DIY, sejak kecil, RA Lasminingrat sudah punya kecerdasan yang menakjubkan. Ia diketahui mampu menulis dan berbahasa Belanda secara mahir.
Perjuangan Lasminingrat dalam dunia pendidikan dimulai ketika karya terjemahannya berjudul Carita Erman diterbitkan. Ia juga merilis buku Warnasari atau Roepa-Roepa Dongeng. Keduanya kemudian menjadi salah satu buku pelajaran populer di wilayah Garut, bahkan luar Jawa.
Lasminingrat banyak menyadur karya-karya populer di Eropa. Ia berharap agar karya-karya tersebut bisa dibaca oleh kaum perempuan Sunda dan dengan demikian, mengambil hikmahnya. Tidak hanya itu, RA Lasminingrat diketahui membangun Sekolah Kautamaan Puteri pada tahun 1911. Kini, sekolah tersebut masih berdiri dan dijadikan cagar budaya.
RA Lasminingrat meninggal dunia pada 10 April 1948. Tokoh pendidikan yang wafat dalam usia 105 tahun ini dimakamkan di belakang Masjid Agung Garut. Namun, ada juga yang menyebut usianya 94 tahun saat wafat.
5. Raden Dewi Sartika
Tokoh pendidikan berikutnya yang tidak mungkin terlewatkan dalam artikel ini adalah Raden Dewi Sartika. Menurut penjelasan dari laman Dinas Kebudayaan DIY, Dewi Sartika lahir pada 4 Desember 1884 di Cilengka, Jawa Barat.
Sejak kecil sudah menjadi sosok wanita cerdas, Dewi Sartika bercita-cita untuk kelak mendirikan sekolah bagi para gadis. Hal ini dibuktikan dengan kegemarannya sepulang sekolah untuk bermain sekolah-sekolahan.
Gagasan Dewi Sartika tidak mendapat tanggapan positif dari ibu dan beberapa orang lain. Namun, kakeknya, RAA Martanegara memberi dukungan. Tidak hanya itu, seorang inspektur kantor pengajaran, Den Hammer, turut menyokong ide Dewi Sartika.
Pada 16 Januari 1904, Dewi Sartika sukses membuka sebuah sekolah dengan nama Sekolah Isteri. Sekolah tersebut mengajarkan murid-muridnya pelajaran dasar, seperti berhitung, menulis, membaca, dan agama. Lambat laun, Sekolah Isteri berkembang.
Bersama sang suami, Raden Kanduran Agah Suriawinata, Raden Dewi Sartika terus memajukan sekolah tersebut. Pada tahun 1910, nama sekolah tersebut berganti menjadi Sekolah Keutamaan Isteri. Bahkan, sekolah itu diperluas menjadi dua bagian pada 1911.
Pemikiran Dewi Sartika tercantum dalam karyanya yang bertajuk De Inlandse Vrouw atau Wanita Bumiputera. Dalam karya tersebut, Dewi Sartika menjelaskan bahwa pendidikan adalah hal substansial agar anak-anak mendapatkan kekuatan dan kesehatan, baik secara jasmani maupun rohani.
Dewi Sartika meninggal pada pukul 09.00 tanggal 11 September 1947. Sang pendiri Sekolah Raden Dewi tersebut dimakamkan di daerah Cinean.
Nah, itulah lima biografi singkat tokoh pendidikan nasional dan pemikirannya yang bisa detikers ketahui untuk menambah wawasan. Terlebih, tidak lama lagi, Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2025 diperingati. Semoga bermanfaat!
Simak Video "Video: Momen Abdul Mu'ti Jalan Sehat untuk Peringati Hardiknas 2025"
(sto/apu)