Seniman sekaligus guru lukis kondang, Tino Sidin ternyata tidak hanya menekuni seni rupa. Tino Sidin juga pernah berjuang untuk kemerdekaan Indonesia, bahkan memiliki hubungan dekat dengan Presiden ke-1 RI, Soekarno.
Anak ke-5 Tino Sidin, Panca Takariyati (60), mengatakan Tino Sidin merupakan Puja Kusuma atau putra Jawa kelahiran Sumatera. Perempuan yang kerap disapa Titik ini menceritakan, bahwa ayahnya memiliki kakek bernama Suro Sentono yang berasal dari Cepit, Bantul.
"Suro Sentono adalah seorang Astana, anak buahnya Gusti Ahmad seorang penyebar agama Islam. Nah, Gusti Ahmad itu anak buahnya Pangeran Diponegoro," katanya saat ditemui di Museum Taman Tino Sidin, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, Kamis (27/11/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Titik melanjutkan, bahwa Suro Sentono adalah mata-mata Belanda. Oleh karena itu, Belanda mengirim Suro Sentono sebagai tenaga perkebunan ke Sri Lanka.
"Harusnya ke Sri Lanka tapi nyasar ke Sumatera Utara. Lalu sebagai tenaga perkebunan di Bandar Suli, itu lima kilometer dari Tebing Tinggi," ujarnya.
Selanjutnya, tanggal 25 November 1925 lahir Tino Sidin lahir di Sumatera Utara. Namun, ayahnya meninggal dunia saat Tino Sidin berusia enam tahun.
"Jadi Tino Sidin hidup bersama kakeknya, dan kakeknya tidak menginginkan Tino Sidin jadi pelukis karena dianggap tidak bisa mendapatkan uang," ucapnya.
Namun, Tino Sidin tidak patah arah dan tetap belajar melukis secara otodidak. Hingga akhirnya kakeknya menjadi romusha untuk membangun benteng di Pantai sekitar Medan, Sumatera Utara.
"Karena kakeknya sudah tua Tino Sidin kasihan dan menggantikannya," katanya.
Ketika menggantikan kakeknya menjadi romusha, Tino Sidin kerap menggambarkan di Pantai. Hal tersebut menarik perhatian dari orang Jepang yang mempekerjakannya.
"Saat istirahat Tino Sidin menggambar di pantai dan sama orang Jepang ketahuan dan bilang kamu punya bakat. Akhirnya Tino Sidin diangkat menjadi tenaga poster. Jadi membuat poster propaganda Jepang karena tidak ada yang lain," ujarnya.
Seiring berjalannya waktu, Tino Sidin lalu aktif di Kepanduan yakni Pramuka dan bertemu dengan Daoed Joesoef dan Nasa Jamin. Ketiganya lalu tergabung dalam kegiatan mempertinggi latihan timur (Melati), yakni Pandu yang dibuat saat zaman kependudukan Jepang.
"Selain di Kepanduan, ternyata mereka juga mencintai seni rupa khususnya melukis. Lalu mereka membuka Angkatan Seni Rupa Indonesia (ASRI) Medan, jadi Daoed dan Nasa buat komunitas di Medan," ucapnya.
Foto-foto Tino Sidin yang terpajang di Museum Taman Tino Sidin, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, Kamis (27/11/2025). Foto: Pradito Rida Pertana/detikJogja. |
Karena punya keinginan kuat untuk belajar seni rupa ke Jawa, Daoed dan Nasa berangkat ke Jawa tahun 1946. Sesampainya di Jawa keduanya belajar di seniman Indonesia muda (SIM) yang didirikan oleh S. Soedjojono.
"Lalu Tino Sidin menyusul juga tahun 1946, Tino Sidin bisa ke Jawa karena menumpang kapal yang ditumpangi HB (Hamengku Buwono) IX," katanya.
Sampai di Jawa, tepatnya Jogja, dua sahabatnya sudah menimba ilmu seni di SIM. Selanjutnya, Tino Sidin tinggal di salah satu indekos kos Tamansiswa, Mergangsan, Kota Jogja.
"Pak Tino di situ (Tamansiswa), Daoed ngekos di belakang Jogja Galery. Lalu Daoed sakit malaria sebulan dan yang merawat pak Tino dan kemudian dibawa ke kosan Darmo Sugito," ujarnya.
Sembari merawat sahabatnya, Tino Sidin tetap belajar melukis. Bahkan, di sela-sela menimba ilmu seni rupa Tino Sidin juga harus berperang karena ikut tentara pelajar (TP).
"Lalu Tino Sidin ikut juga longmarch Siliwangi, itu gerilya dengan TNI menuju Jawa Barat. Nah, sampai di Jakarta tahun 1951 dan Tino Sidin kembali lagi ke Tebing Tinggi menjadi guru dan menikah," ucapnya.
Karena berpengalaman membuat poster saat zaman penjajahan Jepang, Tino Sidin dapat beasiswa dan berkuliah di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) tahun 1961-1964. Setelah berkuliah di Jogja, Tino Sidin memutuskan untuk menetap di Jogja.
"Lalu pak Tino tidak balik lagi dan menetap di Jogja, keluarganya dibawa ke Jogja. Tahun 1969 akhir sampai sampai 1978 mengajar di TVRI Jogja dengan acara gemar menggambar," ujarnya.
Setelah itu, Tino Sidin hijrah ke Jakarta tahun 1978-1980an. Bukan tanpa alasan, semua itu karena program gemar menggambar di TVRI tidak hanya diminati di Jogja namun di tingkat nasional.
"Lalu pak Tino wafat tanggal 29 Desember 1995. Selama di Jakarta Tino buat sanggar-sanggar di Jakarta dengan nama Taman Tino Sidin, karena itu membuat museum ini dengan nama serupa tahun 2014," katanya.
Tino Sidin dan Bung Karno
Titik juga mengungkapkan bahwa Tino Sidin dipercaya punya ilmu tenaga dalam dari kakeknya Suro Sentono. Sehingga Tino Sidin bisa mengobati orang sakit bahkan orang dengan gangguan jiwa.
"Lalu tahun 1963-1967 Tino Sidin diberi tugas untuk menjaga Bung Karno. Bahkan, Kapolri, Jenderal Purn. Hoegeng juga pernah meminta bantuan ke Tino Sidin," ujarnya.
Tidak hanya itu, tahun 1964 Tino Sidin kembali mendapat tugas dari Soekarno melalui Sekretaris Negara.
"Tino Sidin dulu suka mengobati, bahkan tahun 1964 Tino diberi tugas oleh Bung Karno sebagai koordinator ahli-ahli kebatinan," ucapnya.
Sedangkan tahun 1967 Tino tidak lagi menjaga Bung Karno. Semua itu karena Bung Karno sudah lengser sebagai Presiden RI.
Foto-foto Tino Sidin yang terpajang di Museum Taman Tino Sidin, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, Kamis (27/11/2025). Foto: Pradito Rida Pertana/detikJogja. |














































Komentar Terbanyak
Underpass Kentungan Banjir, Ternyata Ini Biangnya
Roy Suryo Cs Kena Wajib Lapor-Dicekal ke LN Buntut Tuduh Ijazah Jokowi Palsu
SE PBNU: Gus Yahya Tak Lagi Berstatus Ketum Per Hari Ini