Tak jauh dari hiruk-pikuk Jalan Malioboro yang tak pernah tidur, tersembunyi 'Kampung Bilal' yang seolah terputus dari bisingnya kota. Permukiman heritage ini bisa ditemukan hanya dengan lima menit berjalan kaki dari Jalan Malioboro Jogja yang legendaris.
'Kampung Bilal' tidak ada kaitannya dengan muazin yang biasa disebut bilal. Julukan ini diperoleh sebab kompleks permukiman seperti layaknya kampung itu adalah peninggalan Haji Bilal Atmojoewana, seorang pengusaha batik yang sangat sukses pada masanya.
Kompleks yang terdiri dari puluhan rumah itu berada di Jalan Dagen, Sosromenduran, Gedongtengen, Kota Yogyakarta. Kompleks yang kini disebut sebagai Taman Yuwono itu memiliki luas 11.886 meter persegi.
Menariknya, warisan tanah Haji Bilal yang luasnya nyaris sekampung itu tidak dibagi-bagi oleh keturunannya. Mereka justru mengelolanya dengan membuat sebuah yayasan untuk menaunginya.
Kompleks Taman Yuwono terdiri dari 20 rumah yang masing-masing berukuran sekitar 300-400 meter persegi yang tersusun melingkar rapi menghadap sebuah lapangan tenis di bagian tengah.
Rata-rata rumah di Taman Yuwono itu merupakan rumah kuno dengan arsitektur khas era kolonial. Terdapat lapangan tenis di tengahnya.
"Menurut kami sih dari zaman dulu itu memang sebagai fasilitas. Artinya lapangan tenis itu memang belum ada (di kawasan lain), dan salah satunya sebagai kelengkapan fasilitas di komplek," ujar Liza Darmawan, cicit Haji Bilal saat ditemui pada (20/11/2025).
Kini, Kompleks Taman Yuwono dikelola oleh Yayasan Banda Pamidjen Djangka Moelja, sebuah yayasan keluarga yang mulai aktif mengelola aset sejak 2023. Pengurusnya berasal dari generasi buyut Haji Bilal.
"Ayah saya itu cucunya Mbah Bilal. Sekarang pengelolanya sudah sampai buyut," kata Liza.
Taman Yuwono pada awalnya dibeli Haji Bilal dengan orientasi jangka panjang. Seluruh bangunan di kawasan itu difungsikan sebagai rumah sewaan, dan hasil penyewaannya dipakai untuk membiayai pendidikan keluarga besar.
"Kalau kita mewariskan harta kan itu bisa habis. Tapi apa yang bisa lebih long last? Ya itu tadi, beliau berdoa agar anak-turunannya bisa menimba ilmu," ujar Liza.
Yayasan yang kini mengelola aset keluarga juga mempertahankan prinsip tersebut, bahwa pendapatan dari properti digunakan kembali untuk mendukung pendidikan generasi penerus.
Nilai inilah yang kemudian menjadi fondasi pengelolaan aset hingga hari ini.
Haji Bilal Sang Raja Batik
Haji Bilal sendiri berasal dari keluarga sederhana, ayahnya merupakan abdi dalem Keraton. Namun sejak muda ia memilih menekuni perdagangan, membangun usaha batiknya dari nol. Ia dikenal sebagai sosok yang ulet, cermat membaca peluang, dan berani mengambil langkah besar ketika kesempatan datang.
Di usianya yang masih tergolong belia, Haji Bilal mendirikan usaha batiknya dalam bentuk firma pada 1912.
Besarnya skala produksi dan jaringan distribusi membuat Haji Bilal Atmajoewana dikenal sebagai 'Raja Batik Jogja'. Usahanya tidak hanya menguasai pasar lokal, tetapi juga merambah hingga luar negeri.
"Pada saat itu produksinya memang besar, distribusi dan sebagainya, konsumennya juga bukan hanya nasional, dan itu juga dikenal diluar," ujar liza.
Pada puncak kejayaannya, Firma Haji Bilal memiliki beberapa workshop dan mempekerjakan sekitar 700 karyawan. Produk firma tidak hanya dipasarkan di Jawa, tetapi juga mencapai Sumatra dan Singapura.
(ahr/dil)