Di balik goresan garis dan warna pada selembar kain batik ada kisah, filosofi, dan identitas kultural yang menancap kuat. Salah satu motif yang kerap mencuri perhatian adalah Batik Sawunggaling, motif yang menampilkan bentuk burung merak dan ayam jago yang dinamis, penuh simbolisme, dan kini menjadi bagian dari kosakata visual batik modern Indonesia.
Simak serba serbi dari batik Sawunggaling.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Asal-Usul Motif
Sumber tentang kelahiran motif Sawunggaling tidak sepenuhnya tunggal. Dilansir dari jurnal berjudul Kajian Estetika Batik Sawunggaling Surabaya yang ditulis oleh Erika Nur Candra, Sejumlah catatan menyebut motif ini dikembangkan oleh perancang ternama Go Tik Swan sebagai hasil eksplorasi terhadap elemen-elemen tradisi Jawa, termasuk penggabungan ragam batik keraton dan pesisiran. Dokumentasi museum dan koleksi batik mencatat Sawunggaling sebagai salah satu karya yang memperkaya khazanah motif batik modern.
Di sisi lain, ada pula keterangan yang menghubungkan proses kelahiran motif ini dengan nama-nama lain dalam tradisi batik, sebuah gambaran umum bagaimana motif tumbuh melalui jaringan perajin, penatah wayang, dan perancang yang saling mempengaruhi. Karena itu narasi kelahiran Sawunggaling sering muncul dalam sejumlah versi lokal.
Sumber Inspirasi Motif
Dikutip dari jurnal berjudul The Philosophical Meaning of Batik Motif Sawunggaling yang ditulis oleh Nur Hanifah Insani, beberapa penelitian dan kajian estetika menyebutkan bahwa inspirasi visual Sawunggaling berasal dari tradisi sabung ayam yang masih ditemukan dalam praktik ritual dan cerita rakyat di beberapa daerah, serta kisah-kisah lokal seperti legenda Joko Berek (sering dikaitkan dengan sosok yang tak pernah terkalahkan dan selalu menanggung ayam jago). Elemen ini kemudian dimanifestasikan menjadi figur ayam jago atau burung yang siap bertarung, melambangkan keberanian dan ketangguhan.
Kajian akademis menambahkan bahwa motif Sawunggaling juga merupakan hasil pertemuan estetika keraton (Solo/Yogyakarta) dengan gaya pesisiran (mis. Pekalongan), sehingga menghasilkan komposisi bentuk yang dinamis dan berwarna. Pendekatan lintas wilayah ini memperkaya makna motif dan membuatnya dapat diterima di berbagai konteks budaya Jawa.
Makna Filosofis
Motif Batik Sawunggaling Foto: Website Karya Kreatif Indonesia |
Secara filosofi, Sawunggaling sering dimaknai sebagai simbol keberanian, kepemimpinan, dan semangat juang. Dua burung merak atau ayam yang digambarkan berdekatan dan siap bertarung melambangkan keteguhan hati, semangat mempertahankan harkat, serta daya juang individu atau kelompok. Di sisi lain, motif ini juga dibaca sebagai representasi persatuan antara elemen berbeda, misalnya gabungan bentuk ayam jago dan unsur merak, yang melahirkan harmoni visual sekaligus makna.
Penelitian lain bahkan melihat Sawunggaling sebagai teks visual yang dapat mendidik karakter, motif yang menegaskan nilai keberanian tetapi juga mengingatkan akan etika bertarung dan arti tanggung jawab. Dengan kata lain, batik Sawunggaling bukan sekadar ornamen, ia memuat pesan moral dan estetika yang terinternalisasi pada pemakainya maupun penikmatnya.
Estetika dan karakter visual
Dari sisi visual, Sawunggaling dikenal karena garisnya yang tegas, bentuk burung merak/ayam yang ekspresif, dan kecenderungan penggunaan warna kontras, beberapa versi bahkan memadukan warna-warna yang relatif jarang pada batik tradisional, seperti nada ungu atau kombinasi cerah lain yang memberi kesan heroik dan teatrikal. Perpaduan motif keraton dan pesisiran membuat Sawunggaling fleksibel, cocok untuk kain panjang tradisional, namun juga mudah diadaptasi ke busana kontemporer.
Tantangan dan peluang pelestarian
Seperti motif-motif batik lainnya, kelestarian Sawunggaling menghadapi tantangan proses pewarnaan dan pembuatan yang memerlukan keterampilan tinggi, persaingan dengan produksi massal, dan kebutuhan untuk menjelaskan konteks budaya kepada generasi muda. Namun ada pula peluang kolaborasi antara desainer muda, institusi kebudayaan, dan pihak industri pariwisata membuka ruang agar Sawunggaling tidak hanya disimpan di museum, melainkan dihidupkan lewat produk yang relevan dan narasi edukatif yang menjangkau lebih luas.
Batik Sawunggaling bertahan karena menggabungkan unsur simbolik yang dalam (keberanian, kepahlawanan), estetika yang menarik (garis dinamis, kombinasi warna), dan akar cerita yang kuat dalam budaya Jawa. Kekuatan motif ini bukan sekadar soal bentuk visual, melainkan kemampuannya menjadi medium yang menyimpan dan menyampaikan nilai budaya dari generasi ke generasi. Dalam dunia yang terus berubah, Sawunggaling menunjukkan bahwa warisan visual tradisional dapat tetap hidup bila diolah dengan kesadaran historis dan kreativitas masa kini.
Artikel ini ditulis Muhammad Faishal Haq, peserta magang PRIMA Kemenag di detikcom.
(ihc/abq)












































