Tahukah Dab, Lokasi Masjid Kampus UGM Dulunya Permakaman Tionghoa?

Mahendra Lavidavayastama, Galardialga Kustanto - detikJogja
Rabu, 22 Nov 2023 07:00 WIB
Foto: Masjid Kampus UGM. Dulunya merupakan kompleks pemakaman Tionghoa. (Mahendra Lavidavayastama/detikJogja)
Jogja -

Tidak banyak yang menyadari bahwa Kompleks Masjid Kampus (Maskam) UGM dulunya merupakan kompleks pemakaman Tionghoa. Selain itu, juga terdapat dua makam yang disebut-sebut sebagai leluhur Bulaksumur. Berikut informasi selengkapnya.

Ketua Takmir Masjid Kampus UGM, Rizal Mustansyir (69) mengatakan sebelum UGM punya masjid kampus, mahasiswa menunaikan salat di area gelanggang mahasiswa.

"Dulu kita salatnya itu di gelanggang, karena belum ada masjid. Itu sekitar tahun 1976-1977. Jadi ya ada olahraga, nanti pas waktunya salat berhenti olahraga ya kita salat, jumatan juga di situ. Saya sudah (di UGM) tapi kan saya masih mahasiswa, jadi saya salat tu di situ. Ngalamin (langsung), lama kita nggak punya masjid," kata Rizal saat ditemui di Kantor Takmir Masjid Kampus UGM, Selasa (21/11/2023).

Akhirnya muncul ide dari Prof Koesnadi Hardjasoemantri yang kala itu menjabat Rektor UGM untuk membuat masjid kampus dan memilih lokasi yang saat itu digunakan sebagai makam Tionghoa. Dipilihnya lokasi tersebut karena dianggap luas, strategis, dan dekat dengan gerbang kampus.

Hambatan Selama Pembangunan Masjid Kampus UGM

Namun, karena lahan tersebut milik Sultan, maka pihak kampus UGM disyaratkan untuk mengganti tanah dan memindahkan makam ke area lain. Konon katanya, ada sekitar 1.400 makam yang berada di lahan tersebut.

"Tapi ternyata itu Sultan Ground, milik Sultan. Prof Koesnadi waktu itu melakukan pendekatan (ke pihak Keraton Jogja), diserahkan ke kita tapi dengan syarat ada tukar guling untuk membongkar kuburan China itu, ada 1.400 kuburan itu. Lalu terjadi proses mencari ahli warisnya itu. Nah kayaknya dalam catatan sejarah ahli warisnya yang ngaku 400-an, jadi tukar guling kita," jelas Rizal kepada detikJogja.

Sesuai kesepakatan, kemudian pihak UGM memindahkan makam-makam tersebut ke daerah Piyungan.

"Kita punya tanah di Piyungan, agak tinggi ya (lokasi pemakaman), mungkin orang-orang Chinese suka kan makam di tinggi-tinggi itu kan, nah tukar sana, sini kosong lalu dikembangkan lah (Maskam UGM)," tambahnya.

Lalu pada 1998, proses pembangunan masjid dimulai dengan peletakan batu pertama sebagai pertanda dimulainya pembangunan. Proses peletakan batu pertama ini terjadi tepat ketika Presiden Soeharto lengser karena reformasi.

"Pas reformasi ini peletakan batu pertama itu 21 Mei 1998," terang Rizal.

Rizal bercerita bahwa pembangunan masjid kampus UGM berlangsung lama, yaitu sekitar 4 tahun karena keterbatasan dana.

"Kalau yang diresmikan itu pas Dies Natalis itu ya, kira-kira jadinya itu ya mungkin sekitar tahun 2000-an 2002 apa ya, 2002, empat tahun. Lama lah karena kita dananya terbatas kan," ucap Dosen Filsafat UGM tersebut.

Arsitektur Bangunan yang Memadukan Kebudayaan China-Jawa-Timur Tengah

Menurut Rizal, arsitektur bangunan Maskam UGM ini mengusung gaya post-modern dengan memadukan pola kebudayaan China, Jawa, dan Timur Tengah.

"Ini polanya kalau saya melihat ini itu gaya post modernisme ya, Jadi ada pola Timur Tengahnya, ada pola Chinanya juga kan, tapi ada pola Jawanya juga ya, kearifan lokalnya ada, jadi mix ya, mix itu kan gaya post modern ya," cerita Rizal.

Dengan konsep arsitektur bangunan yang sedemikian rupa, membuat Maskam UGM dinyatakan sebagai salah satu masjid yang aman ketika pandemi COVID-19.

"Tidak ada dinding, terbuka, dan itu sangat sekali membantu kita ketika pandemi, satu masjid yang di UGM yang diperbolehkan salat jumat karena kita dinilai terbuka tidak ada AC, tidak ada kipas angin kan jadi nggak menularkan," kata dia.

Untuk kapasitasnya, Maskam UGM mampu menampung lebih dari 1.000 jamaah masjid. Masjid ini terdiri dari dua tingkat bangunan.

"Kita bisa lebih dari 10.000 ya, kita kan tingkat dua kalau jamaah yang biasa itu kan putri ya, dia di atas, tapi kalau yang agak senior misalnya ibu-ibu ya di bawah boleh kita kasih. Tapi kalau jumatan bisa lebih dari 10.000," tegasnya.

Masjid Kampus UGM. Dulunya merupakan kompleks pemakaman Tionghoa. Foto: Mahendra Lavidavayastama/detikJogja

'Masjid Kampus UGM' Jadi Nama Masjid

Uniknya hingga saat ini Maskam UGM tidak memiliki nama yang spesifik. Mahasiswa hingga masyarakat sekitar lebih mengenal masjid tersebut dengan nama Masjid Kampus UGM karena dianggap lebih praktis dan ikonik.

"Jadi kita nggak punya nama, ada banyak usul, ada yg memberi nama Solehudin apa segala macam tapi mental semua karena kenapa ya, nampaknya enak juga kita menyebut Maskam UGM, lebih praktis ikonik ya. Jadi no problem itu. Akhirnya ada pembiaran yang nampaknya udah akrab dengan nama Maskam UGM itu. Jangan-jangan dikasih nama Solehudin orang bingung di mana ini salatnya. Apalah arti sebuah nama, yg penting kegiatannya jalan ya," ujarnya sambil tertawa.

Mitos Makam Kyai Bulak dan Mbah Sumur bisa dibaca di halaman berikut.




(apu/dil)

Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork