Di tengah permukiman Kotagede terdapat sumur tua yang menjadi cagar budaya. Sumur bernama Sumur Retno Dumilah itu konon merupakan warisan Kerajaan Mataram Islam.
Sumur Retno Dumilah berlokasi di Kampung Pilahan Gang Kendalisodo No. 890, Rejowinangun, Kecamatan Kotagede, Kota Jogja, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sumur tersebut berada tepat di depan tembok bangunan kos yang berada di gang ini.
Sumur ini juga terlihat berada di belakang tiang. Sepintas keberadaan sumur ini tidak mencolok. Namun, ada plang yang bertulisan informasi singkat tentang Retno Dumilah berukuran besar yang diberi bingkai. Ada juga plang bertulisan Cagar Budaya di sebelah bingkai sosok Retno Dumilah.
Ketua RT 44 Kampung Pilahan, Dalijan, mengatakan Sumur Retno Dumilah telah dijadikan cagar budaya sekitar 10 tahun. Awalnya, Dalijan juga tidak mengetahui asal-usul sumur tersebut.
"Kira-kira 10 tahun yang lalu sumur tersebut diberi label cagar budaya. Kalau saat ini sudah ditutup, tidak dipakai lagi," ujar Dalijan kepada detikJogja, Rabu (18/10/2023).
Hal senada disampaikan warga asli Kampung Pilahan, Mujiyono, mengatakan dahulunya sumur tersebut merupakan sumur biasa milik seorang warga yang saat ini sudah meninggal. Dia menyebut sumur itu semula tidak berada di pinggir jalan.
"Pemiliknya itu sudah meninggal, terus tanah itu dijual. Kebetulan di pinggir jalan, dulu sih nggak di pinggir jalan, awalnya rumah itu lebih menjorok ke depan sumur, terus ada pengembangan jadinya sumur itu ada di pinggir jalan," ucap Mujiono.
Sumur Retno Dumilah Konon Ada Sejak 1583
Dosen Pendidikan Bahasa Jawa Fakultas Bahasa, Seni, dan Budaya Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Prof. Dr. Drs. Suwardi, M.Hum., menyebut Sumur Retno Dumilah dahulunya berada di lingkungan Kerajaan Mataram Islam yang pernah berpusat di Kotagede.
"Sumur tersebut punya Kerajaan Mataram dulu, bukan milik pribadi. Kerajaan juga kan milik orang banyak. Sudah ada sekitar tahun 1583. Ibu Kota Mataram pertama di Kotagede, lalu pindah itu tahun 1613 ke Kerto, sebelahnya itu ke Pleret. (Tahun) 1646 pindah ke Pleret, 1677 pindah ke Kartosuro, pindah ke Surokarto 1745," ucap Suwardi kepada detikJogja, Kamis (19/10).
(ams/sip)