Hama Tikus Masih Jadi Momok, Hasil Panen Petani Kapanewon Minggir Berkurang 20%

Hama Tikus Masih Jadi Momok, Hasil Panen Petani Kapanewon Minggir Berkurang 20%

Dwi Agus - detikJogja
Senin, 17 Jun 2024 22:25 WIB
Petani sedang menggarap lahan di kawasan Padukuhan Jetis, Depok, Sendangsari, Minggir, Sleman, Senin (17/6/2024).
Petani sedang menggarap lahan di kawasan Padukuhan Jetis, Depok, Sendangsari, Minggir, Sleman, Senin (17/6/2024).Foto: Dwi Agus/detikJogja
Sleman -

Panewu Kapanewon Minggir, Djoko Muljanto, sebut hama tikus masih menjadi pekerjaan rumah di wilayahnya. Kemunculan hama ini dapat mengganggu pola tanam bahkan panen khususnya padi. Sehingga terjadi pengurangan hasil panen untuk setiap hektar sawah di Minggir.

Meski tak anjlok signifikan, namun hama tikus menurutnya adalah masalah klasik. Alih-alih berkurang, hama tikus justru konsisten ada setiap tahunnya. Setidaknya hasil panen bisa berkurang 10 persen hingga 20 persen setiap musimnya.

"Ini masalah klasik yang masih ada. Periode tanam yang kemarin musim hujan yang kedua lumayan 80 persen sampai 85 persen bahkan memberikan 90 persen panen. Walaupun ada yang separuh karena ada tikus," jelasnya saat ditemui di Padukuhan Jetis, Depok, Sendangsari, Minggir, Sleman, Senin (17/6/2024).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Terkait solusi penanganan, Djoko menuturkan tidak bisa sepihak. Dalam artian, seluruh wilayah pemilik lahan sawah harus kompak. Berupa pemberantasan secara total dalam waktu bersama-sama.

Penyebab lain adalah masa tanam yang tidak berbarengan. Alhasil ketersediaan pangan untuk hama tikus akan selalu ada. Tikus akan berpindah tempat jika lahan wilayah tertentu telah panen.

ADVERTISEMENT

"Tempat untuk sembunyi tikus masih ada, lalu masa tanam tidak bareng sehingga ketersediaan pangan ada terus dan tidak putus. Seharusnya gropyokan itu bareng, Moyudan dan Seyegan barengan kan ini tikus sifatnya berpindah-pindah," katanya.

Pupuk Langka, Traktor Tak Punya

Lebih lanjut, Djoko memaparkan lahan produktif di wilayahnya mencapai 1.227 hektar. Tersebar di lima Kalurahan di wilayah Kapanewon Minggir. Saat kondisi normal bisa menghasilkan hingga 80 ton gabah kering panen. Namun, saat ini rata-rata hanya 6 ton gabah kering panen setiap hektarnya.

Selain hama tikus, permasalahan lain adalah ketersediaan pupuk. Djoko menuturkan para petani mengeluhkan langkanya ketersediaan pupuk. Alhasil solusinya adalah menggunakan pupuk organik.

Lalu ketersediaan alat pembajak berupa traktor. Para petani di wilayahnya, mayoritas masih bertani dengan cara tradisional. Penyebabnya adalah ketersediaan traktor yang belum bisa menjangkau seluruh petani.

"Harusnya Februari kemarin itu sudah mulai tanam, ternyata ada permasalahan. Ya karena pupuk dan kedua traktor. Kalau traktor mungkin bisa bergantian, kalau pupuk ini peminat ada, beli bisa tapi tahu sendiri permasalahan nasional. Akhirnya sebagian pupuk organik," katanya.

Panewu Kapanewon Minggir Djoko Muljanto saat ditemui di Padukuhan Jetis, Depok, Sendangsari, Minggir, Sleman, Senin (17/6/2024).Panewu Kapanewon Minggir Djoko Muljanto saat ditemui di Padukuhan Jetis, Depok, Sendangsari, Minggir, Sleman, Senin (17/6/2024). Foto: Dwi Agus/detikJogja

Ketersediaan Air Minim

Permasalahan lain yang dia hadapi adalah ketersediaan air. Terkait kebutuhan air baku konsumsi masih aman meski ada kendala di Sendangagung dan Sendangmulyo. Ini karena tersuplai dari mata air di Sendangsari.

Sementara untuk kebutuhan pengairan pertanian, masih ada catatan. Ini karena kawasannya membutuhkan debit air yang tidak sedikit. Setidaknya untuk mengairi 1.277 hektar lahan produktif.

"Karena kita tahu bahwa pasokan di BBWSO melalui sumber selokan Van Der Wijck itu juga terbatas apalagi jika mencukupi dua kecamatan termasuk Moyudan. Kita harapkan kepada petani untuk bisa bijak memilih mungkin menggunakan pertanian yang hemat air," ujarnya.

Skema pertanian yang ditawarkan adalah tanaman palawija. Jenis tanaman ini diketahui tidak boros konsumsi air. Sehingga tetap optimal meski ketersediaan air menipis.

Di satu sisi diakui olehnya, tidak semua petani mau berlatih ke tanaman palawija. Ini karena mayoritas telah nyaman atau terbiasa menanam padi. Meskipun untuk ketersediaan air terbilang tak optimal untuk pengairan pertanian.

"Bisa diselingi dengan palawija yang tidak banyak butuh airnya walaupun saya tahu di sini senangnya padi, tapi mau enggak mau (menyesuaikan) dengan posisi air seperti ini dan jangan sampai nanti pas Van Der Wijck kekeringan kena dampak," katanya.

Djoko juga sempat mengusulkan adanya pembangunan bendungan dan sendang di kawasan Sendangmulyo. Tujuannya agar bisa menyimpan air lebih lama. Sehingga lebih merata dialirkan ke sawah-sawah kawasan Kapanewon Minggir.

Ide ini muncul karena maraknya kawasan perikanan di sisi Utara. Apabila tidak dikelola dengan baik, maka ketersediaan air di sisi Selatan tidak terpenuhi. Sehingga pengelolaan air di kawasan perikanan juga harus diperhitungkan.

"Sebenarnya tidak masalah kalau dasar kolamnya diperkeras agar airnya tidak masuk ke tanah dan tetap bisa dialirkan kembali. Nah limpahan air ini dibuat bendungan atau dibendung kan masih bisa dialirkan lagi. Sudah usul ke pusat tapi belum menetas, mungkin karena butuh biaya besar," ujarnya.

Respon Pemkab Sleman

Sementara itu, Plt Kepala Plt Kepala Dinas Pertanian, Pangan dan Perikanan Kabupaten Sleman Suparmono menuturkan pihaknya akan melakukan kajian. Setidaknya agar dapat menemukan formula yang tepat untuk lahan dan persawahan di Kapanewon Minggir.

Menurutnya, kawasan Kapanewon Minggir bukanlah daerah tidak subur. Bahkan dia menyebut lahan tidur di Kapanewon ini sangat minim. Setidaknya 5 hingga 10 hektar dengan perbandingan total 1.227 hektar.

"Daerah Minggir ini sebenarnya tidak terlalu lahan tidur karena pasti kegarap. Cuma kadang garapnya itu telat tidak pas musimnya," katanya.




(cln/cln)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads