Puthul Itu Hewan Apa? Ini Penjelasan, Ciri Fisik, dan Cara Mengolahnya

Puthul Itu Hewan Apa? Ini Penjelasan, Ciri Fisik, dan Cara Mengolahnya

Ulvia Nur Azizah - detikJogja
Senin, 13 Okt 2025 12:24 WIB
puthul
Ilustrasi puthul goreng. Foto: Istimewa
Jogja -

Bagi masyarakat Gunungkidul, nama puthul mungkin sudah tidak asing lagi, terutama saat musim hujan tiba. Hewan kecil yang satu ini sering muncul di sekitar sawah dan ladang, bahkan kerap dianggap sebagai pertanda datangnya musim tanam. Namun di balik reputasinya sebagai hama perusak akar padi, puthul ternyata memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat pedesaan, bahkan bisa diolah menjadi makanan khas yang gurih dan bergizi tinggi.

Menariknya, fenomena munculnya puthul tidak hanya dilihat dari sisi pertanian, tetapi juga menjadi bagian dari budaya lokal yang sarat makna. Masyarakat Gunungkidul mengenal fenomena musim puthul atau rampal, saat berbagai hewan dan serangga bermunculan setelah tanah mulai lembap. Dalam tradisi ini, puthul menjadi simbol keseimbangan alam yang dijaga dengan penuh kebijaksanaan.

Bagi yang penasaran seperti apa bentuk puthul, bagaimana siklus hidupnya, serta cara masyarakat mengolahnya menjadi hidangan tradisional, artikel ini akan membahasnya secara lengkap. Yuk, simak lebih jauh dan temukan keunikan hewan kecil yang ternyata menyimpan cerita panjang tentang hubungan manusia dan alam di Gunungkidul ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Poin utamanya:

  • Puthul adalah sebutan lokal untuk Phyllophaga helleri, sejenis kumbang tanah yang hidup di bawah permukaan dan sering menyerang akar padi.
  • Selain sebagai hama, masyarakat Gunungkidul juga mengolah puthul menjadi makanan tradisional, seperti puthul goreng dan puthul bacem.
  • Fenomena musim puthul atau rampal menjadi bagian dari siklus alam dan budaya masyarakat Gunungkidul yang sarat nilai ekologis serta kearifan lokal.

ADVERTISEMENT

Puthul Itu Hewan Apa?

Dikutip dari laman resmi Kalurahan Bohol, puthul adalah istilah lokal masyarakat Gunungkidul untuk menyebut serangga sejenis kumbang tanah yang dikenal dalam dunia ilmiah sebagai Phyllophaga helleri. Hewan ini termasuk dalam kelompok uret atau larva kumbang yang hidup di dalam tanah dan dikenal sebagai hama perusak akar tanaman, terutama padi gogo.

Menurut penjelasan dalam buku 73knologi Tepat Guna karya Agus Dwi Nugroho dkk, kumbang P. helleri sering muncul di awal musim penghujan, terutama di lahan yang banyak mengandung bahan organik seperti pupuk kandang. Kondisi ini sangat menarik bagi induk kumbang untuk bertelur di tanah yang lembap, karena telur-telurnya akan menetas menjadi larva yang memakan bahan organik tersebut.

Masyarakat Gunungkidul mengenal fenomena munculnya puthul sebagai bagian dari musim hewan puthul atau rampal. Musim tersebut ditandai dengan munculnya berbagai jenis hewan, termasuk serangga dan reptil, bermunculan di sekitar sawah dan ladang. Fenomena ini biasanya terjadi setelah hujan turun dan tanah mulai lembap.

Menariknya, bagi masyarakat Bohol Gunungkidul, musim puthul tidak hanya dianggap sebagai gangguan, tetapi juga sebagai bagian dari siklus alam yang membawa manfaat. Sebagian warga bahkan memanfaatkan hewan ini sebagai bahan pangan, diolah menjadi makanan khas seperti puthul goreng yang memiliki cita rasa gurih dan renyah. Hal ini menunjukkan bagaimana hubungan antara manusia dan alam dijaga melalui kearifan lokal, di mana masyarakat tetap menghargai kehadiran hewan-hewan yang menjadi bagian dari ekosistem pertanian mereka.

Selain itu, musim puthul juga menjadi momen sosial yang memperkuat kebersamaan warga. Mereka saling mengingatkan untuk menjaga kebersihan lingkungan agar hewan-hewan seperti puthul tidak menimbulkan gangguan berlebih pada tanaman. Dalam pandangan masyarakat setempat, menjaga keseimbangan antara keberadaan hewan dan hasil panen merupakan bagian dari bentuk rasa syukur terhadap alam.

Ciri Fisik Puthul

Menurut Agus Dwi Nugroho dkk, puthul dewasa berwujud kumbang berwarna cokelat dengan ukuran sekitar 6-10 milimeter dan aktif pada malam hari. Serangga ini bertelur di tanah atau bahan organik menjelang pagi.

Setelah 2-3 minggu, telur akan menetas menjadi larva yang dikenal masyarakat sebagai uret. Inilah fase yang paling merusak bagi tanaman, karena larva puthul hidup di sekitar akar padi dan memakan jaringan akar hingga menyebabkan tanaman layu, bahkan mati. Serangan biasanya terjadi saat tanaman padi memasuki fase pertumbuhan anakan hingga pengisian bulir, sekitar dua hingga tiga bulan setelah telur diletakkan.

Larva puthul memiliki bentuk khas menyerupai huruf C dengan panjang sekitar 2,5 cm, berwarna putih kekuningan, dan tubuhnya lunak. Pada kondisi tanah lembap, uret dapat ditemukan di kedalaman kurang dari 15 cm. Namun saat musim kering atau kemarau, mereka bisa berada lebih dalam, bahkan hingga 100 cm di bawah permukaan tanah. Bentuk melingkar ini menjadi ciri umum larva kumbang tanah yang beradaptasi hidup di media padat seperti tanah, di mana mereka menggali untuk mencari sisa bahan organik atau akar tanaman muda.

Sementara itu, kumbang dewasa lebih sering ditemukan di tanaman tahunan seperti kelapa, kakao, dan jambu mete, tempat mereka makan dedaunan sekaligus berlindung. Di wilayah tropis seperti Indonesia, kemunculan kumbang puthul biasanya terjadi setiap tahun di awal musim penghujan, berbeda dengan daerah subtropis yang muncul pada awal musim panas. Inilah alasan mengapa di daerah seperti Gunungkidul, fenomena puthul menjadi bagian dari siklus tahunan yang erat kaitannya dengan kondisi cuaca dan pertanian.

Berdasarkan laman Kalurahan Bohol Gunungkidul, masyarakat setempat tidak hanya mengenali ciri fisiknya, tetapi juga memahami perilakunya. Saat musim puthul tiba, hewan ini menjadi salah satu tanda bahwa tanah dalam kondisi subur dan siap ditanami. Bagi sebagian warga, puthul bahkan dianggap sebagai indikator alam yang menandakan datangnya musim tanam dan meningkatnya kelembapan tanah.

Bagaimana Cara Mengolah Puthul?

Selain dikenal sebagai hama pertanian, puthul di Gunungkidul justru memiliki nilai kuliner yang unik. Masyarakat setempat telah lama memanfaatkan puthul sebagai bahan pangan yang bergizi tinggi dan mudah diolah. Dalam kuliner khas Gunungikidul, puthul biasanya diolah dengan dua cara paling populer, yaitu digoreng dan dibacem.

1. Puthul Goreng

Menurut Kelvian, seorang pencari puthul yang ditemui detikJogja, cara mengolah hewan ini sebenarnya sederhana, asalkan kebersihannya diperhatikan.

"Pertama puthul dicuci dulu biar mati, terus sayapnya dihilangkan dan dicuci lagi. Setelah bersih, puthul dimasak pakai bumbu bacem atau bawang putih dan garam yang dihaluskan lalu digoreng," ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa rasa puthul cenderung gurih dengan tekstur yang renyah karena digoreng hingga garing.

"Ya kalau rasanya gurih, hanya kalau yang alergi udang biasanya gatal-gatal kalau makan puthul. Karena puthul ini proteinnya tinggi," lanjutnya.

Kandungan protein yang tinggi tersebut membuat rasa puthul sering dibandingkan dengan udang goreng. Proses penggorengan menggunakan bumbu sederhana seperti bawang putih dan garam juga menghasilkan aroma harum khas yang menggugah selera.

Meski begitu, masyarakat Gunungkidul tetap berhati-hati saat mengolahnya. Mereka percaya bahwa puthul harus benar-benar bersih agar aman dikonsumsi. Proses pencucian dan pembuangan bagian tubuh tertentu dilakukan dengan teliti agar hasilnya tidak pahit dan tidak meninggalkan rasa tanah. Hasil akhirnya adalah camilan yang gurih, ringan, dan bertekstur kriuk, sering disajikan saat musim rampal tiba sebagai sajian khas pedesaan.

2. Puthul Bacem

Selain digoreng, puthul juga kerap diolah dengan cara bacem, salah satu teknik memasak tradisional Jawa yang terkenal akan perpaduan rasa manis dan gurihnya. Dikutip dari buku Seri Pusaka Cita Rasa Indonesia tulisan Murdijati Gardjito dkk, puthul dimasak menggunakan bumbu bacem yang terdiri atas bawang merah, bawang putih, garam, dan sedikit kecap manis agar cita rasanya semakin meresap.

Metode bacem ini menghasilkan aroma khas dengan sentuhan rasa manis yang lembut, menjadikannya alternatif bagi mereka yang ingin menikmati puthul tanpa rasa amis. Perpaduan antara teknik memasak tradisional dan pemanfaatan sumber daya lokal ini menunjukkan bagaimana masyarakat Gunungkidul mampu mengubah hewan yang semula dianggap hama menjadi sajian khas bernilai gizi dan budaya tinggi.

Sudah tidak penasaran lagi dengan puthul kan, detikers? Semoga penjelasan di atas bermanfaat!




(par/par)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads