Tragedi Pemerkosaan Sum Kuning yang Gemparkan Jogja

Nur Umar Akashi - detikJogja
Jumat, 26 Sep 2025 12:21 WIB
Ilustrasi pemerkosaan Sum Kuning. Foto: Edi Wahyono
Jogja -

Pada tahun 70-an silam, kasus Sum Kuning sempat gegerkan Jogja, bahkan Indonesia secara umum. Bukan tanpa sebab, tragedi penculikan-pemerkosaan ini penuh kejanggalan.

Berdasar keterangan dalam buku Sum Kuning Korban Pentjulikan Pemerkosaan oleh Kamadjaja dkk, nama asli Sum Kuning adalah Sumarijem. Saat kejadian, ia berusia 17 tahun. Dengan demikian, diperkirakan Sum lahir pada 1952 atau 1953.

Sumarijem yang berprofesi sebagai penjual telur adalah anak pertama dari pasangan suami-istri Sudirejo. Ia tinggal bersama orang tua dan kedua adiknya di Desa Djetak, Kalurahan Sidokarto, Kecamatan Godean, Kabupaten Sleman.

Sehari-hari, Sum berangkat dari kediamannya menuju Kota Jogja untuk berjualan. Tujuan pertamanya adalah rumah pembeli langganan. Dari situ, Sum berpindah ke pasar untuk menjajakan sisa telur dagangan.

Siapa sangka, nasib nahas menunggu gadis penjual telur itu pada paruh akhir September 1970. Sebuah kasus yang menggemparkan Jogja sekaligus jadi catatan kelam penegakan hukum di Indonesia.

Kisah Penculikan Sum Kuning

Senin Pahing, 21 September 1970, Sum berangkat ke kota dengan membawa telur yang sudah dipersiapkan. Pukul 5 sore, Sum segera mencari bus untuk pulang. Sayangnya, pada waktu-waktu demikian, bus Jogja-Ngijon sudah tidak lewat lagi di Jalan Ngampilan.

Oleh karena itu, Sum bergeser ke Jalan Ngupasan, sesuai saran yang dapatkan dari orang sekitar. Dari Ngampilan, Sum belok kanan lewat Jalan Patuk menuju Ngupasan. Dalam perjalanan, hati dan pikirannya was-was. Benar saja, kekhawatirannya terbukti saat lewat dekat Asrama Polisi Patuk. Sebuah mobil mendadak berhenti di sampingnya.

"Tampak olehnya pemuda-pemuda gondrong turun dari mobil itu dan dengan paksa menarik Sum untuk masuk ke mobil. Ia berusaha dengan sekuat tenaga menolak paksaan berandal-berandal itu, namun tidak berhasil," tulisan dalam buku yang ditulis para pengacara Sum.

Berdasar ingatan Sum, mobil itu berisikan 3 pemuda dengan rambut gondrong dan 1 orang dengan gaya rambut bros. Setelah Sum naik, ia diancam belati agar tak berteriak atau berontak. Mobil lantas tancap gas meninggalkan lokasi.

Perjalanan Mobil dan Penderitaan Sum Kuning

Mobil berisi Sum melaju kencang lewat Jalan Jogonegaran, kemudian melewati Bumijo. Dari penuturan Sum, mobil diyakininya juga melintasi Jalan Magelang yang kala itu dibelah rel. Goncangan akibat rel itulah yang dideteksi oleh Sum.

Dalam mobil, Sum tak dibiarkan begitu saja. Selain diancam belati, dirinya dibius dengan kain basah berisi obat. Sebelum hilang kesadaran, Sum masih ingat kain panjangnya disingkap. Para pelaku juga merudapaksanya sehingga rasa nyeri dan sakit timbul.

Sum berusaha memberi perlawanan, ia meronta-ronta sekuat tenaga. Namun, kekuatannya untuk tetap sadar tak bertahan lama. Ketika kesadarannya kembali, rok dan kakinya telah basah darah. Bukan hanya 'digarap', uang hasil jualan Sum sebesar Rp 4.650 juga diambil.

Selang beberapa saat, dalam kondisi sakit, lemah, dan lunglai, Sum diturunkan dari mobil. Posisinya ada di daerah Gamping, tepatnya dekat desa Pelemgurih, di tepi jalan besar yang menghubungkan Jogja, Wates, dan Purworejo.

Sum Kuning coba berjalan menuju timur, ke arah Kota Jogja. Alih-alih pulang ke rumah, Sum pergi ke tempat Ibu Sulardi, salah seorang langganannya. Ia pergi ke sana naik becak dengan uang 100 Rupiah yang tersisa.

Kebetulan, dekat situ, bertempat tinggal Tut Sugiyarti, seorang wartawan Minggu Pagi. Tanpa berpikir lama, Tut menghubungi pimpinan koran Kedaulatan Rakyat (KR). Dikirimlah seorang wartawan bernama Iman Sutrisno ke tempat Sum berada.

Wartawan KR itu menghubungi Polisi Militer Angkatan Darat (Pomad) Denpom VII/2. Sum lalu dibawa ke Rumah Sakit Bethesda untuk dirawat. Tidak lama, tepatnya tanggal 23 September 1970, pemberitaan Sum Kuning mulai muncul di koran-koran.

Ganjilnya Pengusutan Kasus Sum Kuning

Singkat kata, terdapat banyak keganjilan dalam proses pengusutan kasus Sum Kuning. Misalnya, pada 28 September 1970, sempat tersiar kabar para pelaku telah ditangkap dan akan diarak. Masyarakat ramai-ramai datang ke kantor polisi di Malioboro. Namun, tak terjadi apa-apa, berita itu bohong.

Sum sendiri tidak pernah melaporkan kasus nahas itu kepada pihak kepolisian. Tidak juga keluarganya. Namun, tidak lama setelah keluar dari RS Bethesda, ia justru dibawa polisi. Sukirno dan Sukarno, dua polisi yang menjemput Sum, menyatakan akan 'meminjam' Sum selama 10 hari.

Faktanya, ia ditahan hingga 32 hari. Dalam penahanan itu, Sum tidak diberi kesempatan menjelaskan keadaan yang sebenarnya. Jika melawan, ia disiksa dengan pukulan dan setrum.

"Kalau tidak menurut atau kalau ia diam tidak menjawab karena kebingungan, ia dibentak-bentak dengan perkataan 'Bisu kau?!' dan diancam akan disetrum dan ditahan 10 tahun," tulis Kamadjaja dkk dalam buku yang pertama kali terbit tahun 1971 itu.

Bukan hanya disiksa, Sum juga dipaksa mengaku sebagai anggota Gerwani. Tubuhnya tak lepas dari rabaan untuk mencari tato Gerwani yang tak pernah ada. Tidak berhenti sampai di sana, seorang penjual bakso bernama Trimo turut kena imbas. Ia ditangkap polisi pada Minggu, 20 Oktober 1970 di rumahnya.

Trimo dipaksa mengaku bahwa dirinyalah yang berhubungan badan dengan Sum. Persis nasib Sum Kuning, Trimo juga disiksa oleh polisi agar mau memberikan keterangan bohong. Ia terpaksa menurut meski di kemudian hari, Trimo mengakui jika pernyataannya itu palsu.

Sum yang merupakan seorang korban lantas diseret ke meja hijau atas tuduhan memberi keterangan fiktif. Menurut polisi, Sum menceritakan kisah palsu karena terinspirasi pemerkosaan terhadap seorang guru muda Stella Duce di Jogja yang terjadi beberapa bulan sebelumnya.

Persidangan Nyatakan Sum Tak Bersalah

Sum mulai menjalani sidang pada Senin, 16 November 1970. Sidang itu digelar di Pengadilan Negeri Jogja secara tertutup. Masyarakat umum dan pers tak bisa masuk. Hanya tim pembela Sum saja yang boleh ikut masuk ruangan.

Singkat cerita, pada Kamis Wage, 17 Desember 1970, jaksa menuntut Sum dipenjara selama 3 bulan. Sum juga dituntut menjalani masa percobaan 1 tahun dan membayar biaya perkara.

Namun, Ketua Majelis Hakim Lamijah Moeljarto menyatakan Sum Kuning tak bersalah. Dengan demikian, ia dibebaskan dari segala tuduhan.

"Menyatakan bahwa terdakwa tersebut bernama: Sumarijem al. Sum Kuning, oleh karena tidak terbukti kesalahannya, maka: membebaskan terdakwa tersebut di atas dari segala tuduhan," bunyi putusan perkara pidana Nomor 424/1970 mengenai Sum Kuning.

Bebasnya Sum Kuning mendapat sambutan hangat masyarakat Jogja yang senantiasa mengikuti perkembangan. Meski akhirnya terlepas dari dakwaan-dakwaan tidak benar, para pelaku masih belum kelihatan hilalnya.

Polisi, atas perintah Kapolri Hoegeng Iman Santoso, kemudian melakukan investigasi mendalam terkait kasus Sum Kuning. Namun, titik terang tetap tak kunjung ditemukan.

Berdasar informasi dalam buku Elegi Penegakan Hukum: Kisah Sum Kuning, Prita, hingga Janda Pahlawan yang terbit tahun 2010, pada 22 September 1971, polisi mengatakan telah menangkap 7 pelaku, sedangkan 3 sisanya masih buron.

Para pelaku yang disebut hanya mencari 'sensasi' itu kemudian digelandang ke meja pengadilan. Ringkas cerita, setelah 39 kali persidangan, pada 19 November 1973, 2 terdakwa diberi vonis penjara, sedangkan 5 lainnya dinyatakan terbebas karena tidak bersalah.

Keduanya adalah Henry Berti Pengeman (mahasiswa) dan Slamet bin Muna (penjual sate). Namun, masih ada rasa ketidakpercayaan masyarakat terhadap pelaku tersebut, karena adanya desas-desus mengenai pelaku adalah sosok penting di negeri ini.



Simak Video "Video: Kemendikdasmen Perkuat Digitalisasi ke Daerah 3T dengan Papan IFP"

(par/aku)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork