Kasus kekerasan seksual di lingkungan Universitas Gadjah Mada (UGM) melibatkan Guru Besar Farmasi Profesor Edy Meiyanto bikin geger. Edy kini telah dipecat sebagai dosen di UGM, namun status guru besar dan aparatur sipil negara (ASN) masih dalam proses kajian.
Peristiwa pelecehan seksual itu terjadi pada periode 2023 dan dilaporkan pada 2024. Kasus ini terungkap setelah pimpinan Fakultas Farmasi UGM melapor ke rektorat hingga akhirnya Edy dipecat sebagai dosen.
Pemecatan Edy itu mengacu pada Pasal 3 ayat (2) Huruf l Peraturan Rektor UGM No. 1 Tahun 2023 dan Pasal 3 ayat (2) Huruf m Peraturan Rektor UGM No. 1 Tahun 2023. Komite Pemeriksa menyatakan Edy terbukti melakukan pelecehan seksual dan melanggar kode etik dosen.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau (status) dosennya itu, Ibu Rektor sudah memutuskan untuk memberhentikan, ada SK Rektor. Tetapi untuk memberhentikan sebagai PNS, dan juga ingat guru besar itu bukan dari universitas, tapi dari pemerintah, makanya kemudian harusnya ada di sana, di kementerian," kata Andi Sandi saat ditemui wartawan di Balairung UGM, Selasa (8/4/2025).
Kementerian Pendidikan Tinggi dan Saintek (Kemendiktisaintek) sudah mendelegasikan pemeriksaan disiplin pegawai kepada kampus per Maret 2025. Pihak kampus UGM lalu membentuk tim pemeriksa untuk meminta klarifikasi terkait pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan Edy. Nantinya hasil rekomendasi dari tim internal itu akan diserahkan Rektor ke Menteri Diktisaintek.
"Keputusan akhir ada di Kementerian (Dikti Saintek), karena yang bersangkutan adalah PNS. Karena kan PNS itu diangkat oleh Kementerian, diberhentikan juga oleh Kementerian. PTN tidak punya kewenangan untuk yang PNS," tegasnya.
Di sisi lain, perbuatan cabul Profesor Edy itu ternyata tak hanya dilakukan di area kampus, tapi juga di rumah pelaku. Hal ini berdasarkan pemeriksaan saksi dan korban yang semuanya berjumlah 13 orang.
"Kalau modusnya, kegiatannya itu dilakukan lebih banyak di rumah," ujar Sandi.
Sandi mengungkap korban datang ke rumah pelaku terkait kegiatan akademik, mulai dari bimbingan akademik hingga lomba. Termasuk bimbingan kegiatan di Cancer Chemoprevention Research Center (CCRC) dan Laboratorium Biokimia Pascasarjana Bioteknologi Sekolah Pascasarjana UGM.
"Mulai dari diskusi bimbingan dokumen akademik, baik itu skripsi, tesis, dan disertasi. Kemudian juga di-research center-nya dan juga kegiatan-kegiatan lomba. Jadi biasanya ada lomba, mereka membuat dokumen atau persiapan proposalnya itu dilakukan di luar kampus," ujarnya.
Dari hasil klarifikasi internal UGM, ternyata Edy ternyata juga melakukan pelecehan verbal. "Kalau kami melihat dari yang diperiksa, itu memang ada tetapi itu yang verbal. Verbal, ya," ujarnya.
Sebelum Edy resmi dipecat UGM, dia telah dibebastugaskan dari jabatannya sejak 12 Juli 2024 silam. Keputusan Dekan Farmasi ini ditetapkan jauh sebelum proses peeriksaan Edy selesai demi kepentingan para korban, dan sebagai jaminan memberikan ruang aman bagi seluruh sivitas akademika di Fakultas Farmasi.
Aksi cabul Edy itu telah menodai kampus UGM yang juga dikenal sebagai kampus biru itu. Dia pun kini menunggu sanksi dari Kemendiktisaintek terkait status guru besar dan ASN-nya.
(ams/apu)
Komentar Terbanyak
Kanal YouTube Masjid Jogokariyan Diblokir Usai Bahas Konflik Palestina
Israel Ternyata Luncurkan Serangan dari Dalam Wilayah Iran
BPN soal Kemungkinan Tanah Mbah Tupon Kembali: Tunggu Putusan Pengadilan